Aceh Pernah Akui Kemerdekaan Belanda: Jejak Diplomasi yang Terlupakan
![]() |
Sumber Foto: tengkuputeh.com |
BANDA ACEH (Langkatoday) - Sejarah Nusantara menyimpan banyak kisah menarik yang jarang diungkap. Salah satunya adalah fakta bahwa Kesultanan Aceh Darussalam pernah mengakui kemerdekaan Belanda dari jajahan Spanyol pada abad ke-17. Sekilas terdengar ironi—sebuah wilayah di Asia Tenggara, yang kelak menjadi korban kolonialisme Belanda, justru pernah memberikan legitimasi pada kemerdekaan negeri yang kemudian menjajahnya. Tapi sejarah tidak pernah sesederhana itu.
Konteks Sejarah
Pada abad ke-16 dan 17, Belanda masih memperjuangkan kemerdekaannya dari kekuasaan Spanyol melalui perang panjang yang dikenal sebagai Perang Delapan Puluh Tahun (1568–1648). Dalam masa-masa sulit itu, Belanda sangat membutuhkan sekutu—baik secara militer, ekonomi, maupun diplomatik.
Di sisi lain, Kesultanan Aceh Darussalam adalah kekuatan maritim dan politik yang sangat disegani di Asia Tenggara. Di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607–1636), Aceh menjalin hubungan internasional yang luas, termasuk dengan Inggris, Turki Utsmani, dan—yang mengejutkan—juga dengan Belanda.
Menurut catatan sejarah, Aceh pernah menjalin hubungan dagang dan diplomasi dengan Republik Belanda, bahkan menyatakan pengakuan terhadap kemerdekaan negeri itu dari Spanyol. Pengakuan ini tentu bukanlah isapan jempol belaka. Dalam dunia diplomatik, pengakuan dari negara atau kekuatan berdaulat lain, seperti Aceh saat itu, sangatlah penting untuk memperkuat legitimasi internasional.
Mengapa Aceh Melakukannya?
Ada beberapa alasan strategis di balik sikap Aceh:
1. Politik Bebas Aktif Abad 17
Seperti halnya negara modern yang menerapkan politik bebas aktif, Aceh juga cerdik membaca peta kekuasaan. Pengakuan terhadap kemerdekaan Belanda bisa menjadi jalan untuk memperkuat posisi tawar Aceh dalam jaringan perdagangan internasional.
2. Musuh dari Musuh adalah Sekutu
Spanyol saat itu adalah sekutu Portugis, yang merupakan musuh utama Aceh di kawasan Selat Malaka. Dengan mendukung kemerdekaan Belanda dari Spanyol, Aceh secara tidak langsung melawan pengaruh Portugis dan sekutunya.
3. Keinginan Menjadi Pemain Global
Aceh ingin diakui sebagai kekuatan besar, setara dengan kerajaan Eropa. Pengakuan kepada negara lain, seperti Belanda, menunjukkan bahwa Aceh tak hanya menjadi objek diplomasi, tapi juga subjek yang aktif memainkan peran global.
Ironi Sejarah
Ironinya, Belanda yang dulunya diakui kemerdekaannya oleh Aceh, justru kemudian menjajah wilayah Nusantara, termasuk Aceh, selama ratusan tahun. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan diplomatik tidak menjamin lahirnya hubungan yang saling menghormati di masa depan, terutama jika ada perubahan kekuasaan dan ambisi imperialisme.
Pengakuan Aceh atas kemerdekaan Belanda adalah bukti bahwa sejarah bangsa ini tidak dimulai dari posisi terjajah, melainkan dari posisi terhormat, berdaulat, dan aktif dalam percaturan dunia. Penting bagi kita untuk menggali kembali narasi-narasi sejarah seperti ini, agar tidak terjebak dalam pandangan inferior terhadap masa lalu.
Referensi
- Djajadiningrat, Hoesein. Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten. 1913. – Menyinggung peran kesultanan-kesultanan di Nusantara dalam jaringan diplomasi abad ke-17.
- Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië (1917-1939) – Arsip Belanda yang mencatat pengakuan dari kekuatan lokal Asia, termasuk Aceh, terhadap kemerdekaan Belanda.
- Hikayat Aceh (naskah kuno) – Menjelaskan bagaimana Aceh memposisikan diri dalam politik global abad ke-17.
- Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia Since c. 1200. Palgrave Macmillan, 2008. – Menyebutkan hubungan diplomatik dan perdagangan Aceh dengan kekuatan Eropa, termasuk Belanda.