Analisis Etis dan Yuridis terhadap Penempatan Jabatan Strategis Suami-Istri ASN dalam Satu Instansi: Studi Kasus Sekretaris Daerah dan Kepala Bappeda Langkat
STABAT (Langkatoday) - Dalam tata kelola pemerintahan yang profesional dan akuntabel, penempatan pejabat Aparatur Sipil Negara (ASN) pada jabatan strategis harus didasarkan pada sistem merit, yang menekankan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, bukan relasi kekeluargaan atau kedekatan personal. Namun dalam praktik birokrasi di berbagai daerah, fenomena suami istri yang menduduki posisi strategis dalam satu instansi kerap menjadi sorotan, terutama ketika keduanya berada dalam struktur organisasi yang saling berkaitan secara hierarkis.
Salah satu kasus yang potensial menimbulkan konflik kepentingan adalah ketika seorang suami menjabat sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) dan istrinya sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dalam satu pemerintahan daerah.
Struktur dan Relasi Jabatan: Sekda dan Kepala Bappeda
Sekretaris Daerah merupakan jabatan tertinggi ASN di lingkup pemerintah kabupaten/kota yang memiliki wewenang dalam mengoordinasikan seluruh perangkat daerah, termasuk Bappeda. Sementara Kepala Bappeda bertanggung jawab dalam merumuskan kebijakan perencanaan pembangunan daerah, menyusun RPJMD, RKPD, dan memberikan rekomendasi program-program pembangunan yang akan dianggarkan.
Secara struktural, Kepala Bappeda berada dalam koordinasi dan pengawasan langsung dari Sekda, yang artinya jika jabatan ini diisi oleh suami-istri, akan tercipta hubungan atasan-bawahan secara formal sekaligus relasi pribadi secara informal, yang berpotensi besar menimbulkan bias dalam pengambilan keputusan serta ketidakseimbangan dalam relasi profesional.
Tinjauan Yuridis
1. UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN
Undang-Undang ini menekankan bahwa ASN harus menjunjung tinggi profesionalisme dan bebas dari intervensi, termasuk praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Dalam konteks jabatan publik, nepotisme bukan hanya tentang pemberian jabatan karena hubungan keluarga, tetapi juga situasi yang memungkinkan pengaruh keluarga memengaruhi keputusan organisasi.
2. PP No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS (jo. PP No. 17 Tahun 2020)
Dalam Pasal 276, secara eksplisit disebutkan bahwa:
“Dalam hal suami dan istri adalah Pegawai Negeri Sipil dalam satu instansi, salah satunya dapat dipindahkan apabila keduanya menduduki jabatan yang berhubungan langsung dalam hubungan hierarki pengawasan.”
Dalam kasus ini, struktur jabatan Sekda dan Kepala Bappeda jelas berada dalam relasi langsung hierarkis, sehingga keberadaan suami istri dalam posisi tersebut secara regulatif berpotensi melanggar ketentuan ini, kecuali dilakukan pengaturan atau mutasi salah satunya.
Tinjauan Etika Administrasi Publik
Etika administrasi publik mewajibkan setiap pejabat publik untuk:
- Bertindak adil dan objektif,
- Menghindari konflik kepentingan,
- Menjaga kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Dampak Institusional dan Sosial
Penempatan suami dan istri dalam posisi strategis seperti ini dapat menimbulkan beberapa dampak negatif, antara lain:
- Penurunan moral ASN lain, karena ada persepsi bahwa promosi jabatan dapat dipengaruhi oleh hubungan personal.
- Terganggunya sistem rotasi dan promosi jabatan, karena seolah ada posisi yang “dikunci” oleh keluarga tertentu.
- Rendahnya kepercayaan publik terhadap independensi birokrasi pemerintah daerah.
- Risiko penyalahgunaan kekuasaan secara terstruktur, karena sulit memisahkan kepentingan pribadi dan publik.
Rekomendasi Kebijakan
Untuk mengatasi potensi permasalahan tersebut, beberapa langkah strategis yang bisa diambil pemerintah daerah adalah:
- Melakukan rotasi atau mutasi salah satu dari pasangan ASN tersebut ke unit kerja yang tidak berada dalam koordinasi langsung.
- Menguatkan regulasi internal tentang pengelolaan konflik kepentingan dalam penempatan jabatan struktural.
- Meningkatkan peran Inspektorat Daerah dan Komisi ASN (KASN) dalam melakukan pengawasan atas potensi nepotisme dan pelanggaran merit system.
- Menyusun sistem pelaporan benturan kepentingan (conflict of interest disclosure) bagi setiap pejabat yang diangkat dalam jabatan strategis.
Kesimpulan
Meskipun tidak ada larangan eksplisit bagi suami istri ASN untuk menjabat posisi strategis di satu instansi, penempatan mereka dalam jabatan yang berada dalam relasi struktural langsung seperti Sekretaris Daerah dan Kepala Bappeda sangat tidak disarankan secara hukum maupun etika. Situasi ini tidak hanya menimbulkan konflik kepentingan, tetapi juga berdampak buruk terhadap budaya organisasi, kepercayaan publik, dan efektivitas pemerintahan daerah.
Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah daerah untuk mengambil langkah bijak dan preventif melalui mekanisme mutasi, audit etik, dan pengawasan internal demi menjamin sistem birokrasi yang bersih dan profesional.