Langkat di Persimpangan: Saat Primata Menatap Hutan Terakhirnya yang Tergantikan Sawit
![]() |
Lahan hutan mangrove dialihfungsikan menjadi kebun sawit, Foto: detaksumut |
Oleh: Zaky Al Faiz
STABAT (Langkatoday) - Di Kabupaten Langkat, pengembangan lahan untuk perkebunan kelapa sawit semakin meningkat dan menghasilkan dampak lingkungan yang signifikan.
Berdasarkan informasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Langkat tahun 2023, luas area perkebunan kelapa sawit di wilayah ini sudah mencapai sekitar 58.227,40 hektare atau lebih dari 31,16% dari keseluruhan luas daerah kabupaten.
Perluasan ini tidak hanya merubah lanskap, tetapi juga mengancam keberadaan hutan primer dan sekunder yang selama ini menjadi tempat tinggal bagi satwa liar yang hanya ada di Sumatera.
Dampak dari ekspansi ini dapat dilihat secara nyata pada spesies hewan seperti orangutan Sumatera, lutung atau Thomas Langur, dan monyet ekor panjang yang habitatnya semakin terpisah.
Menurut laporan dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara pada tahun 2022, sekitar 80%habitat orangutan terletak di luar area perlindungan resmi, yang membuatnya sangat mudah terancam oleh perambahan dan perubahan lahan menjadi perkebunan kelapa sawit.
Suara Dari Persimpangan
![]() |
Thomas langur, Foto: lookphoto |
Di antara ekspansi kebun sawit yang kian melebar, udara yang sebelumnya segar kini dipenuhi dengan bau pestisida dan debu dari pembukaan lahan.
Pohon-pohon yang dulunya menjadi tempat tinggal bagi ribuan primata seperti orangutan sumatera, Thomas langur, dan monyet ekor panjang sekarang semakin langka, memaksa mereka untuk menjelajahi area yang lebih kecil dan berbahaya.
Penghilangan hutan ini tidak hanya menghilangkan tempat tinggal, tetapi juga memecah area pergerakan primata menjadi beberapa bagian kecil yang terpisah.
Populasi orangutan sumatera yang kini tersisa sekitar 13.710 individu secara global, mayoritas berada di wilayah Bentang Alam Leuser yang mencakup Langkat, sangat rentan terhadap pecahnya habitat tersebut.
Thomas langur, spesies primata yang hanya ada di Sumatera Utara, telah mengalami penurunan populasi yang mencolok mencapai 30 persen dalam beberapa dekade terakhir, terutama disebabkan oleh pengembangan lahan perkebunan sawit yang merusak habitat hutan mereka.
Sementara itu, monyet ekor panjang yang sebelumnya banyak ditemukan di Langkat sekarang tergolong dalam kategori terancam, berhadapan dengan tantangan akibat konflik dengan manusia saat mereka terpaksa mencari makanan di area perkebunan sawit.
Ini bukan sekadar tentang hilangnya tempat tinggal bagi makhluk-makhluk ini. Kehilangan mereka mengindikasikan hilangnya elemen vital dari keseimbangan ekosistem yang selama ini mendukung kelangsungan hidup hutan.
Sebagai contoh, orangutan berperan sebagai penyebar biji, yang krusial untuk proses regenerasi hutan. Tanpa mereka, mekanisme alami yang memulihkan dan menjaga hutan akan terganggu, mempercepat kerusakan lingkungan.
Langkat, yang selama ini menjadi pusat ekologi dan tempat bagi berbagai spesies endemik, kini telah berubah menjadi kombinasi kebun sawit dan area-area kecil dengan vegetasi yang tersisa.
Primata yang sebelumnya bebas berkeliaran sekarang terpaksa berjuang dalam ruang yang semakin sempit, menghadapi risiko perburuan, konflik dengan manusia, serta hilangnya sumber makanan alami.
Pada titik ini, kita dihadapkan pada dua pilihan signifikan. Pilihan pertama adalah membiarkan perluasan kebun sawit terus berlangsung tanpa batasan, yang akan membahayakan masa depan primata dan keseimbangan alam.
Pilihan kedua adalah mengambil tindakan konkret untuk perlindungan, melestarikan habitat yang masih ada, dan memastikan bahwa generasi yang akan datang dapat tetap menyaksikan ³Ã¨3³keindahan kehidupan liar yang berharga ini.
Bersama Kita Bisa Menentukan Arah
![]() |
KAWASAN hutan mangrove di Langkat rusak akibat aksi ilegal. Waspada/Ist |
Masih terdapat harapan selama kita bersatu untuk bangkit. Proses perbaikan tidaklah mustahil, asalkan semua elemen termasuk pemerintah, masyarakat, LSM, dan konsumen harus bersuara dengan tegas dan melakukan tindakan nyata.
Pemerintah daerah perlu memiliki keberanian untuk menerapkan regulasi lingkungan tanpa kompromi, merehabilitasi lahan yang telah rusak, dan menindak dengan tegas semua praktik pembukaan lahan ilegal yang merusak habitat satwa.
Masyarakat sipil dan organisasi lingkungan dapat memperkuat pengawasan dengan informasi yang akurat serta keterlibatan langsung, memastikan bahwa perubahan benar-benar terjadi di lapangan.
Konsumen juga memiliki peran krusial dengan memilih produk kelapa sawit yang berkelanjutan dan bersertifikat, seperti RSPO atau ISPO, kita bersama-sama menolak kerusakan lingkungan dan memberikan tekanan kepada industri untuk bertransformasi.
Langkat bukan hanya sekadar lokasi di peta atau angka dalam statistik. Ia merupakan rumah terakhir bagi orangutan, Thomas langur, serta monyet ekor panjang yang merupakan makhluk hidup yang juga berhak untuk mendapatkan perlindungan dan masa depan.
Jika kita melewatkan kesempatan ini tanpa mengambil tindakan, bukan hanya satwa-satwa tersebut yang akan hilang, tetapi juga sepotong jiwa alam Langkat yang tak tergantikan.
Mari kita anggap momen ini sebagai panggilan hati, bukan sekadar untuk menyaksikan, tetapi untuk bertindak. Suara alam telah bergema, kini saatnya kita menjawab dengan keberanian dan cinta.
Bersama-sama, kita dapat melindungi Langkat, menjaga warisan alam untuk generasi mendatang. Jangan biarkan mereka kehilangan tempat tinggalnya.