UPDATE
The Vajra

Bank Dunia Konfirmasi: Data Kemiskinan RI Bersumber dari SUSENAS BPS, tapi Metode Pengukuran Berbeda

JAKARTA (Langkatoday) - Bank Dunia akhirnya memberikan penjelasan terkait lonjakan angka kemiskinan di Indonesia versi mereka. 

Dalam factsheet terkini berjudul “The World Bank's Updated Global Poverty Lines: Indonesia”, lembaga multilateral itu menegaskan bahwa mereka menggunakan data survei rumah tangga resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) — khususnya SUSENAS — sebagai dasar perhitungan.

Namun, meski menggunakan sumber data yang sama, Bank Dunia menerapkan metode dan garis kemiskinan yang berbeda dari BPS. Penyesuaian ini terkait penerapan Purchasing Power Parity (PPP) terbaru 2021, menggantikan PPP 2017, untuk memperbarui standar garis kemiskinan global.

Metodologi Bank Dunia

  • Garis kemiskinan ekstrem ditetapkan pada US$ 3,00 per hari (setara ±Rp546 ribu per bulan di Indonesia). Sebelumnya, standar ekstrem adalah US$ 2,15.
  • Terdapat juga ambang kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah bawah (US$ 4,20/hari) dan menengah atas (US$ 8,30/hari).
Hasilnya, Bank Dunia mencatat 5,4% penduduk Indonesia miskin ekstrem pada 2024, sementara 19,9% berada di bawah garis LMIC, dan 68,3% di bawah garis negara berpendapatan menengah atas (UMIC) — setara sekitar 194 juta orang. Angka ini jauh berbeda dari data kemiskinan nasional BPS yakni sekitar 8,57% atau 24 juta orang per September 2024.

Mengapa Angka Bisa Berbeda?

Jubir Kantor Staf Kepresidenan, Dedek Prayudi, menegaskan bahwa perbedaan tersebut bukan kontradiksi, melainkan dua pendekatan yang dirancang untuk tujuan berbeda. Metode Bank Dunia digunakan untuk perbandingan global dan pelacakan kemiskinan ekstrem. Sedangkan BPS menggunakan metode Cost of Basic Needs, yaitu penghitungan berdasarkan konsumsi kalori harian minimal dan kebutuhan non-makanan yang mencerminkan kondisi lokal masyarakat Indonesia.

BPS membebankan garis kemiskinan domestic berdasarkan dua komponen: gizi minimal 2.100 kkal per hari dan akses pendidikan, kesehatan, serta hunian layak. Dari dua komponen itu ditetapkan ambang rupiah kemiskinan nasional yang digunakan untuk kebijakan subsidi dan program bantuan sosial.

Bank Dunia sendiri menyatakan bahwa garis kemiskinan nasional seperti yang dirilis BPS adalah instrumen paling relevan untuk kebijakan domestik, sementara standar global digunakan untuk membandingkan antarnegara.

Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan

Perbedaan angka kemiskinan antara Bank Dunia dan BPS bukan karena kekeliruan data, melainkan refleksi dari tujuan ukur yang berbeda: satu untuk monitoring global, satu lagi untuk perumusan kebijakan dalam negeri. Menurut para pengamat ekonomi, menyadari hal ini penting agar kebijakan pengentasan kemiskinan lebih tepat sasaran dan mempertimbangkan dinamika lokal serta standar global secara bijaksana.

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar