Pakaian Melayu di Sekolah: Antara Pelestarian Budaya dan Beban Baru bagi Rakyat
![]() |
Dua Surat Edaran Dinas Pendidikan Langkat terkait Busana Melayu di Sekolah, Foto: suarain.com |
Oleh: Al Faqih
STABAT (Langkatoday) - Polemik terkait surat edaran Dinas Pendidikan Kabupaten Langkat tentang kewajiban memakai busana Melayu di sekolah setiap hari Jumat menyisakan catatan penting. Kebijakan yang semula berlaku untuk seluruh siswa SD dan SMP, negeri maupun swasta, itu menuai protes keras dan akhirnya dicabut.
Namun pencabutan itu pun dilakukan tanpa penjelasan yang transparan dari pejabat terkait, dan ini menimbulkan pertanyaan lebih dalam: apakah kita sedang melestarikan budaya, atau justru sedang memaksakannya?
Pemajuan budaya lokal tentu merupakan niat yang baik. Kita semua paham, identitas kebudayaan daerah adalah kekayaan yang perlu dijaga. Namun pelestarian budaya tidak boleh dilepaskan dari konteks sosial ekonomi masyarakat.
Di tengah tekanan ekonomi yang makin berat, ketika orang tua siswa baru saja mengeluarkan biaya besar untuk membeli seragam sekolah dan seragam Pramuka, muncul kebijakan baru yang meminta mereka membeli lagi pakaian adat.
Dari sinilah kontroversi bermula. Kebijakan itu terasa tidak sensitif terhadap realitas rakyat. Bahkan bagi sebagian besar keluarga, terutama yang hidup dalam keterbatasan, aturan tersebut bukanlah bentuk pelestarian, melainkan beban tambahan yang memberatkan.
Lebih disayangkan lagi, kepala dinas yang seharusnya menjelaskan alasan di balik pencabutan edaran, justru memilih bungkam. Tanggapan yang diberikan kepada media hanya berupa ajakan untuk datang ke kantor, tanpa klarifikasi substansial. Sikap ini mencerminkan lemahnya komitmen terhadap keterbukaan informasi publik.
Kritik dari berbagai pihak, termasuk aktivis dan pemerhati pendidikan, sangat beralasan. Mereka menggarisbawahi bahwa budaya bukan sekadar simbol seperti busana atau aksara pada papan nama sekolah. Budaya adalah nilai, pemahaman, dan praktik kehidupan.
Jika pemerintah benar-benar ingin memajukan budaya, maka seharusnya fokus diarahkan pada penguatan kurikulum lokal, pengembangan bahasa daerah, atau pelatihan seni dan tradisi di sekolah. Itulah pelestarian budaya yang sejati - bukan sekadar mengganti seragam sekolah.
Kebijakan yang hanya bersifat seremonial seperti ini rawan menjadi alat pemaksaan simbolik. Ia bisa menciptakan kesan bahwa pemerintah lebih peduli pada tampilan luar daripada substansi pendidikan itu sendiri. Dan yang paling rentan terdampak tentu saja rakyat kecil.
Pendidikan seharusnya menjadi ruang pembebasan - bukan arena baru untuk tekanan ekonomi. Jika kebijakan publik tidak dirancang secara inklusif dan partisipatif, maka risikonya besar: rakyat dipaksa tunduk pada aturan yang tidak mereka pahami, tidak mereka sepakati, dan tidak mereka mampu penuhi.
Pemkab Langkat harus belajar dari kasus ini. Setiap kebijakan, apalagi yang menyangkut anak-anak dan keluarga, harus disusun dengan pendekatan yang manusiawi, terbuka, dan berpihak kepada rakyat. Budaya tidak akan lestari lewat paksaan. Ia akan tumbuh dan dihargai ketika masyarakat merasa menjadi bagian darinya - bukan korban darinya.