Polisi Bedah Rumah Warga! Tugas Negara atau Cari Simpati?
JAKARTA (Langkatoday) – Kegiatan bedah rumah yang dilakukan oleh jajaran kepolisian di sejumlah daerah memang tampak menyejukkan. Di tengah realitas sosial yang timpang, hadirnya Polri membangun kembali rumah warga miskin seakan menjadi oase harapan. Namun, publik tidak bisa menutup mata bahwa tindakan ini juga menimbulkan pertanyaan serius: Apakah Polri sedang melampaui tugas konstitusionalnya?
Jika merujuk pada Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Tugas tersebut kemudian ditegaskan dalam UU No. 2 Tahun 2002, yang tidak mencantumkan secara eksplisit tanggung jawab pembangunan sosial-fisik seperti bedah rumah.
Simbol Empati atau Distraksi?
Tak sedikit pengamat menilai bahwa kegiatan seperti ini hanyalah simbol empati belaka yang sarat dengan muatan pencitraan. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir, tingkat kepercayaan publik terhadap Polri menurun drastis, terutama setelah mencuatnya kasus-kasus besar seperti kasus Ferdy Sambo, tragedi Kanjuruhan, hingga temuan dugaan pungli berjemaah di internal Polri.
Dalam survei LSI (2023), kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian menurun hingga di bawah 60 persen, sebuah angka yang menjadi peringatan serius bagi lembaga penegak hukum.
Maka, tidak berlebihan jika muncul asumsi bahwa kegiatan sosial seperti ini adalah bagian dari strategi “pemulihan citra”. Tapi pertanyaannya: Apakah pemulihan citra dapat dibenarkan jika itu keluar dari garis konstitusional dan menciptakan preseden pelanggaran fungsi lembaga?
Tumpang Tindih Fungsi: Risiko dalam Tata Kelola Pemerintahan
Dalam prinsip dasar Good Governance, setiap lembaga negara memiliki batas fungsi yang tegas. Ketika lembaga penegak hukum mengambil alih peran yang seharusnya diemban oleh instansi seperti Kementerian Sosial, Dinas Perumahan Rakyat, atau Baznas, maka yang terjadi adalah tumpang tindih otoritas yang berpotensi merusak efektivitas kebijakan sosial.
Lebih jauh, jika kegiatan ini tidak didasarkan pada regulasi yang jelas dan mekanisme akuntabel, maka ada risiko penggunaan anggaran secara tidak transparan, dan justru membuka ruang penyalahgunaan wewenang.
Masyarakat Mendapat Manfaat? Ya. Tapi Apakah Itu Cukup?
Tidak bisa dimungkiri, masyarakat penerima manfaat merasakan dampaknya. Rumah mereka yang sebelumnya tidak layak huni kini berdiri kokoh berkat bantuan dari kepolisian. Namun, dalam kerangka demokrasi dan hukum, hasil baik tidak boleh menjadi justifikasi atas proses yang keliru.
Jika setiap institusi negara mulai “berbuat baik” di luar tugas pokoknya tanpa regulasi yang jelas, maka kita sedang mengarah pada praktik wilayah abu-abu kekuasaan, di mana lembaga-lembaga negara menjadi serba bisa—namun justru lepas kendali.
Rekomendasi: Kepedulian yang Terstruktur
Alih-alih melakukan kegiatan sosial secara independen dan insidentil, Polri sebaiknya:
-
Bersinergi secara formal dengan instansi sosial agar kegiatan sosial mereka berada dalam kerangka hukum yang sah.
-
Mengedepankan transparansi anggaran jika menggunakan dana publik atau CSR.
-
Tetap memprioritaskan tugas utama, yakni menegakkan hukum dan menjaga keamanan masyarakat.
Citra yang Dibangun atau Keadilan yang Tegak?
Akhirnya, publik berharap Polri menjadi institusi yang kuat karena penegakan hukumnya, bukan karena bangunan yang didirikannya. Keadilan yang ditegakkan dengan konsisten, transparan, dan berintegritas jauh lebih berdampak dalam membangun kepercayaan publik daripada tindakan sosial yang sesaat.
Sebab, dalam negara hukum, niat baik saja tidak cukup—harus ada dasar hukum yang jelas, akuntabilitas yang tegas, dan kesesuaian fungsi kelembagaan. Jika tidak, maka kita akan terjebak dalam romantisme bantuan sosial yang mengabaikan pentingnya rule of law.