UPDATE
The Vajra

Skandal Tanah 300 Hektare: Kampus USU Diduga Rampas Lahan Rakyat, Sawit Tumbuh—Keadilan Mati!

Lahan perkebunan USU yang masih berkonflik dengan masyarakat setempat karena belum adanya penyelesaian soal ganti rugi lahan.(ist)

STABAT (Langkatoday) - Sebuah kisah pilu dan memalukan kembali mencuat dari Kabupaten Langkat. Di tengah deretan lembaga pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi simbol intelektualitas dan moralitas, Universitas Sumatera Utara (USU) justru dituding sebagai dalang dari perampasan lahan seluas 300 hektare milik warga Desa Poncowarno, Kecamatan Salapian.

Tragedi agraria yang berlangsung sejak 1986 ini bukan hanya soal tanah. Ini soal keadilan yang hilang, nurani yang dibungkam, dan sistem yang seolah merawat ketimpangan dengan diam.

Tanah Leluhur yang Dicaplok Diam-Diam?

Terletak di antara aliran Sungai Lau Bekulap dan Lau Bekiun, hamparan tanah subur seluas ±300 hektare itu telah dikelola masyarakat sejak 1953. Tanah ini bukan sekadar lahan—ia adalah rumah, sejarah, dan kehidupan. Namun, pada tahun 1986, datang sebuah tindakan yang mengubah segalanya. Kebun Percobaan Tambunan A, milik USU, melakukan penanaman sawit di atas lahan itu tanpa kesepakatan dengan masyarakat. Tidak ada dialog, tidak ada persetujuan, hanya dominasi sepihak.

Jejak Panjang Penguasaan Lahan

Sejarah mencatat lahan tersebut pernah menjadi milik Perkebunan SIVEP, perusahaan asing yang beroperasi sejak era kolonial. Setelah dinasionalisasi, asetnya sempat dikelola oleh berbagai pihak, hingga akhirnya USU mengajukan izin pemanfaatan pada 1981. Dengan bermodalkan surat dari Mendagri, USU mendapatkan izin awal seluas 256 hektare. Namun, pada 1986, perluasan dilakukan hingga menyentuh wilayah garapan warga tanpa dasar hukum yang jelas.

Janji Ganti Rugi yang Tak Pernah Lunas

Di tengah penolakan masyarakat, muncul janji ganti rugi dari pihak kebun percobaan. Surat pernyataan dari Mandor Jami, yang didukung oleh aparat desa saat itu, menjanjikan kompensasi kepada masyarakat. Tapi janji itu kini seperti fosil: tersimpan dalam dokumen, tetapi mati dalam praktik. Selama hampir 40 tahun, tak ada sepeser pun kompensasi diterima warga.

Almarhum Jasa Ginting, tokoh tani setempat, pernah berkata bahwa tanah itu bukan hanya ladang, melainkan simbol harga diri masyarakat. Kini, harga diri itu diinjak-injak oleh institusi yang ironisnya dibayar dari uang rakyat.

Diamnya Negara, Bungkamnya Kampus

Pertanyaan terbesar yang kini menggema: mengapa kampus sebesar USU tak pernah menjelaskan keterlibatannya? Mengapa pemerintah daerah dan pusat tak juga turun tangan menyelesaikan konflik yang telah berlangsung hampir empat dekade?

Jika benar lahan itu diserobot, maka USU tidak hanya harus dimintai pertanggungjawaban secara hukum, tapi juga secara moral sebagai institusi pendidikan. Ini bukan sekadar konflik tanah—ini luka lama yang menantang keberanian kita untuk berpihak pada yang lemah.

Rakyat Masih Bertahan

Masyarakat Poncowarno tak pernah meminta belas kasihan. Yang mereka tuntut hanyalah satu: keadilan. Dan dalam negara hukum, keadilan tak boleh ditunda—terlebih jika pelakunya adalah mereka yang mestinya menjadi penjaga etika bangsa.

“Kami masih di sini. Di tanah yang mereka tanami sawit, di tanah yang kami sebut rumah. Kami akan tetap bertahan. Karena kami benar,” ucap salah seorang warga Poncowarno.

Kini publik menanti: akankah hukum berpihak pada kebenaran, ataukah kekuasaan kembali menang di atas penderitaan rakyat kecil? (rel/rhm)

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar