UPDATE
The Vajra

Oligarki Digital dan Kematian Jurnalisme Independen

Carol Cadwalladr 

Oleh: Dr. Faqih

STABAT (Langkaroday) - Di tengah riuhnya teknologi informasi dan ledakan media sosial, ada pertanyaan mendasar yang patut kita renungkan: siapa sebenarnya yang mengendalikan narasi?

Di era ketika semua orang bisa berbicara, ternyata hanya segelintir yang benar-benar didengar. Dan itulah ironi besar dunia media saat ini — dunia yang kita kira bebas, tapi diam-diam dibungkam oleh kekuasaan.

Dalam pidatonya yang tajam di Global Media Forum 2025, jurnalis investigatif Carol Cadwalladr menelanjangi wajah gelap industri media.

Ia tak sekadar menyuarakan kegelisahan, tapi menggugat sistem - menyebut nama-nama besar yang kerap dipuja sebagai “penjaga demokrasi”, padahal menjadi arsitek utama sensor halus di era digital.

Ia menunjuk Jeff Bezos, pemilik The Washington Post, sebagai contoh: menulis tentang “krisis kepercayaan publik terhadap media”, sementara ia sendiri dituding menyabotase pemberitaan kritis dan menarik dukungan politik di balik layar.

Bagi Carol, ini bukan hanya kemunafikan, tapi bentuk baru dari represi: sensor yang dilakukan bukan oleh negara, tapi oleh konglomerat.

Ketika Kebenaran Disunting Berdasarkan Kepentingan

Contoh konkret? Isu Palestina.

Ribuan orang turun ke jalan di seluruh dunia untuk menunjukkan solidaritas terhadap rakyat Palestina. Namun, bagaimana media arus utama merespons? Senyap. Sunyi. Seolah tak terjadi apa-apa.

Narasi-narasi yang tak sesuai dengan selera pemilik modal dibuang ke sudut algoritma, ditenggelamkan dalam "keseimbangan berita" yang semu.

Kasus Bob Vylan, musisi punk Inggris, juga menjadi sorotan. Saat ia berseru “Matilah IDF” di Glastonbury Festival, media Inggris justru berlomba-lomba mengecam BBC karena menyiarkannya. Tak ada ruang untuk konteks. Tak ada pembelaan terhadap kebebasan berekspresi. Padahal justru publik mendukung keberaniannya.

Ini bukan tentang satu isu. Ini tentang pola. Pola pembungkaman. Pola pembentukan opini publik yang direkayasa sedemikian rupa, dengan sensor tak kasat mata: dari pengeditan naskah hingga framing berita, dari algoritma media sosial hingga intervensi pemilik modal.

Oligarki Digital: Ketika Pengusaha Menjadi Penguasa Narasi

Carol menyebutnya sebagai oligarki digital - rezim baru yang tak butuh tank atau senapan. Cukup punya platform, media, dan uang. Mereka mengatur apa yang pantas kita ketahui. Mereka menentukan mana yang disebut “berita” dan mana yang dibiarkan lenyap tanpa jejak.

"Mereka bukan sekadar perusahaan," kata Carol. "Mereka adalah kekuatan politik, ekonomi, dan budaya. Mereka membentuk kenyataan kita."

Dan di titik inilah demokrasi mulai goyah. Ketika media - yang seharusnya menjadi alat kontrol kekuasaan - justru menjadi bagian dari kekuasaan itu sendiri.

Kita Harus Gugat, Bukan Diam

Lalu di mana kita, publik?

Apakah kita hanya penonton pasif dari panggung besar informasi yang sudah disetir dari belakang layar? Ataukah kita bersedia menjadi bagian dari perlawanan - dengan terus bertanya, mengkritisi, dan tidak menerima begitu saja narasi yang disodorkan?

Jurnalisme sejati lahir dari keberanian. Bukan dari kepatuhan terhadap sponsor atau pemilik saham. Jika media tak lagi mampu berdiri untuk kebenaran, maka kita, publik, harus menjadi suaranya.

Carol Cadwalladr telah membuka luka itu. Pertanyaannya sekarang: siapa yang berani merawatnya - sebelum demokrasi kita benar-benar mati dalam pelukan nyaman para oligarki digital?

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar