UPDATE
The Vajra

Aktivis Bayaran: Saat Idealisme Mahasiswa Dijual Murah di Pinggir Jalan

BINJAI (Langkatoday) - Apa jadinya jika nurani bangsa dijual seharga sebungkus nasi padang dan ongkos bensin? Itulah potret getir gerakan mahasiswa hari ini. Mereka yang dulu digadang-gadang sebagai pewaris semangat reformasi, kini sebagian berubah menjadi "pasukan sewaan" yang siap berteriak apa saja, asal ada amplop yang berpindah tangan.

Demonstrasi yang seharusnya menjadi simbol perlawanan moral kini berubah menjadi event berbayar. Ada yang datang membawa spanduk tanpa tahu isi tuntutan, ada yang berorasi membaca teks yang bahkan bukan tulisannya sendiri. Ironis, tapi nyata. Di tengah sorotan kamera, mereka tampak gagah, tapi di balik layar, sebagian hanya menunggu “transferan.”

Inilah kematian pelan-pelan idealisme mahasiswa, kematian yang tidak disebabkan peluru, tapi uang receh. Aktivisme kehilangan makna ketika moral dikonversi menjadi tarif. Ketika suara nurani bisa dipesan dengan harga, maka mahasiswa tak lagi menjadi pengontrol kekuasaan, melainkan bagian dari mesin kepentingan itu sendiri. Mereka tidak menggugat kebijakan, melainkan memerankan naskah pesanan.

Namun, fenomena ini tidak lahir di ruang kosong. Kemiskinan struktural di kalangan mahasiswa, tekanan ekonomi, dan budaya konsumtif kampus turut menyuburkannya. Banyak mahasiswa hari ini yang lebih sibuk mencari cuan ketimbang mencari makna. Tapi persoalannya, apakah alasan ekonomi cukup untuk membenarkan penjualan idealisme? Kalau begitu, apa bedanya aktivis dengan calo politik?

Pergerakan mahasiswa seharusnya berangkat dari kesadaran, bukan kontrak kerja. Dari kegelisahan intelektual, bukan dari perintah sponsor. Dari keberanian moral, bukan dari rasa lapar. Begitu idealisme mulai ditukar dengan uang, maka “gerakan” itu mati, bahkan sebelum melangkah ke jalan.

Dan lucunya, sebagian dari mereka mungkin masih percaya diri menyebut diri “pejuang rakyat.” Padahal rakyat yang mana? Rakyat yang menjerit karena kebijakan zalim, atau rakyat yang kebetulan membayar mereka?

Kita butuh mahasiswa yang berani miskin tapi bermartabat, bukan yang kaya dari amplop tapi miskin dari nurani. Karena bangsa ini tidak akan berubah oleh teriakan yang dibayar, melainkan oleh pikiran yang jujur dan hati yang berani.

Sebelum semuanya terlambat, kampus perlu menjadi ruang cuci bersih, bukan mencuci uang, tapi mencuci kesadaran. Sebab jika mahasiswa tidak lagi bisa dipercaya sebagai kontrol sosial, maka jangan salahkan rakyat jika mereka berhenti percaya pada gerakan apa pun. Karena ketika kebenaran sudah bisa dinegosiasikan, maka kebohonganlah yang akan jadi harga pasar.

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar