Tak Punya Empati! Banjir Belum Surut, Mayoritas Anggota DPRD Langkat Pergi Kunjungan Kerja
BERITA LANGKAT - Di tengah air bah yang belum juga surut dan masih merendam rumah-rumah warga di Kabupaten Langkat, satu ironi kembali menampar logika publik: 46 dari 50 anggota DPRD Langkat memilih pergi kunjungan kerja.
Ya, hampir seluruh wakil rakyat meninggalkan daerah pemilihannya - bahkan saat ribuan warganya tengah membutuhkan kehadiran mereka yang paling dasar: peduli.
Sementara sebagian warga masih mengungsi, jaringan listrik belum stabil, dan distribusi bantuan tersendat, para legislator justru sibuk berkemas untuk bertolak ke Kabupaten Karo, Deli Serdang, dan Provinsi Riau.
Alasan? Hingga kini tidak jelas.
Ketika dikonfirmasi media, Sekretaris Dewan Basrah Perdomuan hanya memberi jawaban sepotong: 46 anggota berangkat kunker. Pertanyaan tentang agenda, urgensi, dan siapa saja yang ikut, menggantung tanpa jawaban, seolah rahasia negara.
Fenomena ini bukan sekadar absensi moral; ini adalah pengkhianatan terhadap mandat konstitusional. Wakil rakyat seharusnya berada di barisan terdepan ketika bencana melanda daerahnya.
Mereka bukan hanya pembuat anggaran dan pengawas eksekutif, tetapi juga seharusnya menjadi penopang moral masyarakat di saat krisis. Namun, alih-alih mengunjungi daerah banjir, mereka justru memilih jalur wisata kedinasan.
Banjir yang merendam Langkat sejak akhir November telah memicu kepanikan: warga terisolasi, akses logistik tersendat, bantuan tak merata, hingga muncul aksi penjarahan. Dalam situasi ini, publik berhak bertanya: Siapa sebenarnya yang sedang bekerja untuk rakyat?
Di saat ribuan warga menunggu kedatangan wakilnya, para legislator justru absen. Bukan absen sehari atau dua hari, tetapi secara kolektif, seolah tak ada urgensi untuk menunda perjalanan demi hadir bersama konstituen.
Di banyak daerah, wakil rakyat justru ikut mendistribusikan bantuan, meninjau titik banjir, atau bahkan menjadi jembatan informasi antara warga dan pemerintah. Di Langkat, mayoritas justru memilih pergi.
Editorial ini perlu menegaskan: kunker di tengah bencana adalah kesalahan etis sekaligus politis.
Jika DPRD Langkat merasa perjalanan itu penting, mereka harus menjelaskan kepada publik secara terang dan rinci apa urgensinya. Jika tidak ada alasan yang masuk akal, maka perjalanan ini tidak lebih dari moral hazard yang dibiayai uang rakyat.
Sikap ini memperpanjang daftar kekecewaan masyarakat terhadap para pejabat Langkat yang berkali-kali gagal membaca suasana batin publik.
Pemerintah daerah sudah dinilai lamban menangani banjir; kini legislatif ikut-ikutan menghilang. Sementara itu, warga terus menunggu: kapan para pemimpinnya berhenti pergi dan mulai hadir? (rel/rhm)


.png)