Tanggap Darurat Diperpanjang, Wakil Rakyat Justru Mengungsi ke Luar Daerah
BERITA LANGKAT - Pemerintah Kabupaten Langkat resmi memperpanjang masa tanggap darurat banjir hingga 12 Desember 2025. Keputusan ini diambil karena ribuan warga masih terjebak di wilayah tergenang, sebagian belum tersentuh bantuan, dan proses evakuasi masih berjalan terseok-seok. Situasi bencana belum mereda, tetapi anehnya, justru para wakil rakyatlah yang mereda dari tugasnya.
Di tengah status tanggap darurat yang diperpanjang, publik digegerkan oleh fakta mencengangkan: 46 dari 50 anggota DPRD Langkat memilih melakukan kunjungan kerja keluar daerah. Sementara banjir meluas ke 16 kecamatan, para legislator tak terlihat di posko pengungsian. Mereka justru terlihat rapi berangkat menuju Karo, Deli Serdang, dan bahkan Provinsi Riau.
Kunker apa yang begitu penting hingga harus dilakukan saat ribuan warga masih berada di lantai-lantai masjid, di rel-rel kereta api, sekolah, dan gedung bertingkat, menunggu bantuan yang tak kunjung memadai? Ketika ditanya, Sekretaris Dewan Basrah Perdomuan hanya memberi jawaban singkat, 46 orang berangkat. Titik. Tidak ada penjelasan lanjutan.
Padahal, di saat masa tanggap darurat diperpanjang, publik justru berharap para anggota dewan menunjukkan empati dan kepemimpinan moral. Kehadiran mereka di lapangan sangat dibutuhkan untuk memastikan aliran bantuan, menegur instansi yang lamban, dan menjadi mata serta telinga masyarakat. Itulah fungsi pengawasan dan representasi yang mereka janjikan saat kampanye.
Namun realitas berbicara lain: ketika masyarakat masih sibuk menyelamatkan barang-barang yang tersisa dan mengatur hidup seadanya di pengungsian, para wakil rakyat justru pergi.
Kebijakan memperpanjang masa tanggap darurat adalah pengakuan resmi bahwa situasi masih kritis. Tetapi keputusan itu justru membuat absennya DPRD semakin menyakitkan.
Alih-alih ikut mengawal perpanjangan ini, mayoritas anggota dewan memilih meninggalkan wilayah bencana. Publik pun bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang menangani banjir ini? Relawan?
Situasi menjadi ironis ketika pemerintah daerah mengeluarkan imbauan agar pedagang tidak menaikkan harga barang dan tidak menimbun stok. Pesan moral itu terdengar janggal ketika moralitas pemimpin justru ikut tenggelam bersama banjir. Bagaimana mungkin warga diminta menjaga solidaritas sosial, sementara elit politik justru abai?
Editorial ini menilai bahwa kunker massal DPRD Langkat di tengah perpanjangan masa darurat adalah cacat etik yang serius. Ini bukan lagi persoalan administrasi, tetapi kemunduran moral dan kegagalan membaca penderitaan publik.
Ketika banjir menghanyutkan rumah, harta, dan rasa aman masyarakat, justru rasa percaya terhadap pemimpinnya yang paling dulu tenggelam.
Dan kini, satu pertanyaan menggantung di udara:
Jika “tanggap darurat” diperpanjang, mengapa justru para wakil rakyat tidak ikut “tanggap”?


.png)