Indonesia Gabung BRICS, Apa Untung Ruginya Bagi Perekonomian Nasional?
JAKARTA (Langkatoday) - Indonesia telah mengajukan permintaan keanggotaan untuk bergabung dengan alinsi BRICS, yang disampaikan oleh Menteri Luar Negeri RI Sugiono dalam KTT BRICS di Rusia pada Kamis (24/10). Keputusan tersebut melahirkan banyak pandangan, baik dampak positif maupun dampak negatif terhadap arah perekonomian Indonesia ke depan.
Pengamat Ekonomi yang juga Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studied (Celios) Nailul Huda menanggapi keputusan bergabungnya Indonesia dalam aliansi yang meliputi negara-negara ekonomi berkembang utama tersebut (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan/ akronim BRICS). Dia memandang ada dampak positif yang cukup besar bagi Indonesia.
“Gerakan diplomasi Indonesia merupakan gerakan non-blok dimana tidak terafiliasi ke blok manapun, baik BRICS maupun OECD, bisa menjadi pilihan. Namun memang pilihan koalisi politik dan ekonomi bisa mem-boost pertumbuhan ekonomi ke depan,” ujar Nailul saat dihubungi awak media, Jumat (25/10).
Ia menerangkan, data menunjukkan bahwa proporsi ekonomi negara BRICS mengalami peningkatan yang cukup tajam. Pada 1990, proporsi ekonomi negara BRICS hanya 15,66 persen. Lantas, pada 2022, proporsinya telah mencapai 32 persen.
Itu menggambarkan bahwa kekuatan BRICS memang besar, terutama dalam berhadapan dengan negara adidaya, Amerika Serikat (AS). Nailul menyebut, meskipun China diprediksi akan mengalami perlambatan ekonomi, tetapi tetap akan menjadi pesaing bagi AS ke depannya.
“Bergabung dengan BRICS akan memberikan keuntungan bagi Indonesia untuk bisa lepas dari pasar tradisional seperti AS dan Eropa. Eropa pun sebenarnya sudah mulai rese dengan kebijakan ekspor Indonesia dimana sering terlibat perselisihan dalam hal perdagangan global,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Nailul menuturkan, saat ini anggota BRICS juga bukan hanya terdiri dari lima negara saja, tetapi juga negara-negara Timur Tengah sudah mulai masuk ke koalisi.
“Hal ini sejalan dengan keinginan pemerintah untuk masuk ke pasar Timur Tengah. Jadi sebenarnya keuntungan masuk BRICS cukup besar,” ujar dia.
Risiko Bentrokan Kepentingan
Kendati menilai bahwa bergabungnya Indonesia ke aliansi BRICS akan memberikan banyak keuntungan, Nailul juga mengungkapkan ada risiko yang bakal dihadapi ke depannya. Terutama munculnya risiko bentrokan kepentingan dengan negara adidaya lainnya, yang tak lain adalah AS.
“Salah satunya terkait dengan fasilitas perdagangan dengan AS yang bisa dicabut atau bahkan dikurangi,” tuturnya.
Tak hanya itu, dampaknya akan lebih luas lagi jika misalnya calon presiden AS Donald Trump menang dalam Pilpres AS 2024 dengan menerapkan kebijakan lebih ketat dalam sektor perdagangan. Itu akan menimbulkan potensi perang dagang antara AS-China yang berdampak kian meluas, terutama bagi emerging market seperti Indonesia.
“Terlebih ada potensi perang dagang AS-China jika Trump menang. Ada potensi ekonomi global akan melambat dan ber-impact pada negara koalisi. Ini yang harus diwaspadai,” terangnya.
Sebelumnya diketahui, pemerintah Indonesia telah resmi mengajukan permintaan keanggotaan untuk bergabung dengan aliansi BRICS. Permintaan itu disampaikan Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Sugiono yang menghadiri KTT BRICS Plus di Kazan, Rusia pada 22-24 Oktober 2024.
“Bergabungnya Indonesia ke BRICS merupakan pengejawantahan politik luar negeri bebas aktif. Bukan berarti kita ikut kubu tertentu, melainkan kita berpartisipasi aktif di semua forum,” kata Sugiono dalam keterangannya yang dirilis Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI di Jakarta pada Kamis (24/10) malam WIB.
Sugino menjelaskan, terdapat alasan lain mengapa Indonesia akhirnya memutuskan bergabung dengan BRICS.
“Kita juga melihat prioritas BRICS selaras dengan program kerja Kabinet Merah Putih, antara lain terkait ketahanan pangan dan energi, pemberantasan kemiskinan atau pun pemajuan sumber daya manusia,” ucapnya.
Lewat BRICS, kata Sugiono, Indonesia ingin mengangkat kepentingan bersama negara-negara berkembang atau Global South.
“Kita lihat BRICS dapat menjadi kendaraan yang tepat untuk membahas dan memajukan kepentingan bersama Global South. Namun kita juga melanjutkan keterlibatan atau engagement kita di forum-forum lain, sekaligus juga terus melanjutkan diskusi dengan negara maju,” kata Sugiono.
Saat berpartisipasi dalam KTT BRICS Plus, Sugiono mengajukan, beberapa langkah konkret untuk memajukan kerja sama organisasi tersebut dengan negara-negara Global South. Pertama, menegakkan hak atas pembangunan. Kedua, mendukung sistem reformasi multilateral agar lebih inklusif, representatif, dan sesuai realitas saat ini.
Ketiga adalah menjadi kekuatan untuk persatuan dan solidaritas di antara negara-negara Global South. Menurut wakil ketua umum DPP Partai Gerindra tersebut, BRICS dipandang dapat menjadi perekat untuk mempererat kerja sama di antara negara-negara berkembang.
Saat berpartisipasi dalam KTT BRICS Plus, Sugiono juga menyampaikan pesan Presiden Prabowo Subianto tentang anti penjajahan dan penindasan. Terkait hal itu, ia menekankan komitmen dan solidaritas Indonesia untuk perdamaian global.
Menlu pun menggarisbawahi situasi yang berlangsung di Palestina dan Lebanon.
“Indonesia tidak dapat berdiam diri saat kekejaman ini terus berlanjut tanpa ada yang bertanggung jawab,” ujar Sugiono.
Indonesia menyerukan gencatan senjata dan penegakkan hukum internasional, serta pentingnya dukungan berkelanjutan untuk pemulihan Gaza. BRICS dibentuk pada 2009 atas inisiatif Rusia. Tujuan awal pembentukannya adalah mengembangkan kerja sama komprehensif di antara anggotanya.
Negara itu mencakup Brasil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan. Namun BRICS memutuskan melakukan ekspansi dan sudah menerima lima anggota baru. Mereka adalah Arab Saudi, Iran, Uni Emirat Arab, Ethiopia, dan Mesir. Selain Indonesia, Malaysia dan Turkiye juga tertarik bergabung BRICS. (rel/rol)