Kualitas Lebih Penting dari KTP, Isu Domisili Miskin Narasi dan Strategi
Oleh : Hidayat Syahputra
Pemerhati Sosial, Politik dan Budaya
STABAT (Langkatoday) - Menjelang tahapan pemungutan suara pemilihan kepala daerah (Pilkada) 27 November 2024. Pilkada menjadi momen penting bagi setiap lapisan masyarakat. Baik individu maupun kelompok dalam demokrasi di setiap daerah guna memilih sosok pemimpin daerahnya.
Dalam perjalanannya pilkada kerap muncul isu-isu yang menarik perhatian dan terkadang pula membuat geli.
Permainan isu-isu menarik dan terkadang membuat geli itu terkadang pula terlihat miskin narasi, salah satunya adalah isu putra daerah maupun domisili.
Isu seperti itu kini ramai dihembuskan di Kabupaten Langkat. Menanggapi isu yang berkembang terkait fenomena pilkada Langkat ini menjadi menarik perhatian dan mari kita bedah bersama.
Isu Putra Daerah: Politik Identitas
Isu putra daerah kerap dijadikan peluru untuk menyerang lawan politik pada kontestasi Pilkada. Istilah ini dianggap memiliki nilai jual ampuh untuk mempengaruhi pilihan pemilih.
Istilah ini merupakan istilah bermuatan mensuperiorkan atau meninggikan serta mengharuskan pemimpin daerah haruslah berasal dari daerah tersebut, tidak berasal atau beralamat daerah luar.
Jadi, apa sebenarnya arti dari “putra daerah” dalam konteks pilkada? Secara makna, ini mengacu pada calon kepala daerah yang berasal dari wilayah yang sama dengan daerah pemilihan atau disebut juga dengan istilah pribumi (penduduk asli).
Membangun narasi mewajibkan pemimpin daerah adalah seseorang yang berasal dari daerah tersebut dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk rasisme. Karena memandang bahwa yang layak memimpin suatu daerah, harus putra daerah.
Istilah-istilah itu sering digunakan untuk menjadi alat menekan, menyerang seorang calon kepala daerah yang dianggap berasal dari luar daerah.
Hak Setiap Warga Negara
Namun satu hal yang harus dicermati adalah syarat menjadi kepala daerah tidak mengharuskan calon berasal dari daerah pemilihan di daerah tersebut.
Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota tidak membatasi calon kepala daerah berdasarkan asal daerah.
Jadi, putra daerah bukanlah syarat hukum yang harus dipenuhi oleh seseorang ketika mencolankan diri menjadi Calon Kepala Daerah.
Menjadi calon kepala daerah adalah hak setiap warga negara tidak terbatas pada suatu daerah saja boleh dimana saja, selagi memenuhi syarat yang diatur dalam konstitusi.
Begitupun dengan calon dan memilih calon kepala daerah. Jangan terjebak pada narasi yang sempit.
Strategi mempromosikan calon kepala daerah, seyogyanya tidak melalui mekanisme dengan menebar isu-isu SARA.
Kita harus mencermati dan memilih seseorang atau pasangan calon kepala daerah yang baik, berkualitas, berintegritas, seorang yang dianggap mampu memajukan daerah.
Calon terbaik adalah calon yang bisa memenangkan hati rakyat, merebut simpati rakyat dengan ide dan gagasan bukan malah menebar isu murahan.
Ukurlah calon kepala daerah dari kualitas dan integritasnya bukan dari administrasi kependudukannya atau asal daerahnya.
Isu Domisili: Gerakan Miskin Narasi dan Strategi
Dalam ruang lingkup istilah putra daerah, juga akan memunculkan narasi “putra daerah asli dan bukan putra daerah asli.”
Kemudian akan memunculkan lagi istilah “domisili” sungguh kesemuanya itu merupakan gerakan miskin narasi dan strategi.
Hendaklah kita ini sebagai kaum terpelajar menyajikan edukasi dalam berdemokrasi, tidak membawa-bawa isu ras, kesukuan dan isu-isu negatif kedaerahan lainnya.
Karena hal tersebut tentu sudah masuk pada isu SARA, jika disangkut kaitkan tentang kedaerahan.
Konstitusi yang berlaku di negeri ini memberikan hak bagi setiap warga negaranya untuk dipilih dan memilih selagi memenuhi syarat yang diatur pada konstitusi.
Tidak terkecuali mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah, itu merupakan hak setiap warga negara.
Yang terpenting dan menjadi substansi adalah seseorang tersebut memahami masalah-masalah dearah dan diyakini mampu membawa kemajuan serta mengatasi permasalahan daerah.
Kualitas Cakada Lebih Penting dari pada KTP
Selayaknya dan semestinya yang kita sadari bersama adalah strategi politik apa yang digunakan menggerakkan mesin politik pilkada.
Tim Pemenangan layaknya pejaja dagangan. Mempromosikan dagangannya dengan mengunakan strategi promosi yang seperti apa.
Sebagai contoh sesama penjual kopi. Tentu memiliki cara tersendiri menawarkan kopinya, agar diminati penikmat kopi. Bisa dengan menggunakan strategi harga, bisa juga dengan strategi rasa. Ini soal cara.
Lalu sebagai pemilih, masyarakat harus melihat lebih holistik (keseluruhan aspek) dan memilih calon berdasarkan kualitas kepemimpinan bukan hanya karena status sebagai putra daerah.
Mewujudkan pilkada yang sehat memerlukan kesehatan akal serta partisipasi aktif dan pemahaman yang mendalam dari kita semua.
Kepemimpinan bukan soal darimana kita berasal, namun soal kemampuan, kemauan, political will, integritas, dan visi calon pemimpin (kepala daerah).
Isu putra daerah, pribumi maupun domisili adalah strategi yang digunakan oleh kelompok miskin narasi dan strategi atau dikarenakan pihak lawan politiknya tidak memiliki celah untuk dapat dikuliti.
Jadilah pemilih cerdas, Salam akal sehat