Pertahankan Tanah Kas Desa, Kades Sei Tualang Justru Jadi Tersangka!
![]() |
| Kades Sei Tualang, Berandan Barat, Langkat |
BERITA LANGKAT - Upaya Kepala Desa Sei Tualang, Berandan Barat, Kabupaten Langkat, Syamsul Bahri, untuk mempertahankan lahan tanah kas desa (bengkok) justru berujung proses hukum. Ia kini ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus sengketa lahan antara Pemerintah Desa Sei Tualang dengan pihak perkebunan kelapa sawit PT Sri Timur di wilayah hukum Kabupaten Langkat.
Syamsul Bahri, yang menjabat sebagai kepala desa terpilih periode 2022–2028 dan diperpanjang hingga 2030, mengaku hanya berusaha menertibkan kembali aset desa yang selama ini terbengkalai sebelum ia menjabat.
“Saya hanya ingin memastikan tanah kas desa tetap menjadi milik desa, bukan pihak lain. Itu tanah untuk kepentingan masyarakat,” ujar Syamsul Bahri dalam keterangannya kepada wartawan, Senin (10/11)
Awal Mula Sengketa
Kasus ini berawal ketika Syamsul menelusuri arsip kantor desa dan menemukan Akta Jual Beli (AJB) antara Juliani dengan pihak Pemkab Langkat yang diwakili oleh Drs. Hasrul Muhiddin, selaku Asisten Pemerintahan Sekretariat Daerah Kabupaten Langkat saat itu.
Namun, dokumen pendukung seperti sertifikat lahan tidak ditemukan di arsip desa.
Untuk memastikan keabsahan aset, Syamsul mendatangi Badan Pengelola Keuangan Aset Daerah (BPKAD). Namun, pihak BPKAD menyebutkan bahwa berkas tersebut belum tercatat dan belum diarsipkan, dan menyarankan agar kades berkoordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Langkat.
Setelah mengirim surat resmi ke BPN Langkat, Syamsul dipanggil untuk menerima jawaban. Namun, pihak BPN memberikan keterangan secara lisan karena alasan administrasi dan keterbatasan ruang penjelasan tertulis.
“Petugas bilang jawabannya terlalu panjang kalau dibuat surat. Jadi saya hanya dapat penjelasan lisan,” kata Syamsul.
Pemataan Lahan dan Munculnya Konflik
Tanpa dukungan teknis resmi, Syamsul menggunakan tapal batas lama dan aplikasi Avenza Maps untuk memetakan bidang tanah sesuai dengan AJB yang dimilikinya.
Dari hasil itu, ia menemukan sebagian lahan tersebut bersinggungan langsung dengan area perkebunan PT Sri Timur.
Ketika pemerintah desa melakukan pembuatan parit batas sebagai penanda tanah kas desa, pihak perusahaan melalui manajernya, Muliady Sigalingging, melaporkan tindakan tersebut ke Polres Langkat.
Laporan itu kemudian berujung pada penetapan tersangka terhadap Syamsul Bahri, dengan sangkaan Pasal 107 huruf (a).
Proses Hukum dan Kekecewaan
Selama 9 bulan penyidikan di Polres Langkat, pihak kepala desa mengaku telah memberikan seluruh alat bukti kepemilikan dan dokumen yang mendukung status tanah tersebut sebagai tanah kas desa.
Namun, laporan perusahaan tetap dikabulkan dan berkas perkara dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Langkat untuk disidangkan di Pengadilan Negeri Stabat.
Dalam proses persidangan, Syamsul mengaku kecewa atas putusan hakim yang dianggap tidak mempertimbangkan alat bukti yang diajukan pihak desa.
"Saya sudah tunjukkan semua bukti kepemilikan tanah kas desa, tapi hakim tetap memutus sesuai tuntutan jaksa,” ungkapnya.
Dasar Tindakan: Program Ketahanan Pangan Desa
Syamsul menegaskan, langkahnya mengaktifkan kembali tanah bengkok desa adalah bagian dari program ketahanan pangan (Ketapang) tahun 2024, hasil kesepakatan antara pemerintah desa, BPD, dan masyarakat.
“Dana desa digunakan untuk mengaktifkan lahan agar produktif dan bermanfaat bagi warga. Ini program nasional, bukan kepentingan pribadi,” katanya.
Namun, niat mempertahankan aset desa justru berujung pidana, menimbulkan keprihatinan sejumlah pihak di Langkat yang menilai kasus ini perlu ditinjau ulang secara objektif dan transparan.
Pengamat: Kasus Aset Desa Tak Boleh Dikriminalisasi
Pengamat kebijakan publik Agung Laksono menilai, kasus seperti yang dialami Kades Sei Tualang ini mencerminkan lemahnya perlindungan hukum terhadap pengelolaan aset desa.
“Jika benar tindakan kepala desa dilakukan untuk menjaga aset publik dan mendukung ketahanan pangan, maka seharusnya pendekatan administratif ditempuh lebih dulu, bukan pidana,” ujarnya.
Menurutnya, pemerintah daerah dan aparat penegak hukum perlu memperjelas status hukum aset desa di seluruh kabupaten/kota, agar kepala desa tidak menjadi korban dari kekosongan data atau tumpang tindih administrasi.
“Kriminalisasi terhadap kepala desa yang beritikad menjaga aset publik justru berpotensi mematikan semangat reformasi tata kelola desa,” pungkasnya.



.png)