The Vajra

Melayu Deli, Nasibmu Kini

Table of Contents

MEDAN (Langkatoday) - Di tengah arus modernisasi, identitas bukan sekadar soal sejarah, tapi juga keberpihakan. Lalu, bagaimana nasib Melayu di kota yang dulu disebut ‘Tanah Deli’ ini?"

Kota Medan—ibukota Sumatera Utara yang dikenal sebagai kota multietnis. Di dalamnya begitu banyak etnis yang hidup dan berkompetisi, sebut saja etnis Batak, Tionghoa, Jawa, Minang, Aceh, dan tentu saja, Melayu. Tapi, ada satu pertanyaan yang jarang kita ajukan: di mana posisi Melayu di tanahnya sendiri?

Melayu bukan hanya cerita masa lalu Kota Medan. Sejarah panjang Deli melibatkan Kesultanan Melayu yang berjaya, dengan istana megah dan budaya yang kental. Namun, jika kita melihat Medan hari ini, Melayu seakan tenggelam, ia ada dalam senyap, seolah menjadi tamu di rumahnya sendiri.

Dilema Identitas: Antara Warisan dan Realitas

Dalam ingatan kolektif, Melayu Deli itu identik dengan pantun, zapin, dan adat istiadat yang penuh sopan santun. Tapi, apakah itu cukup untuk bertahan di tengah dunia yang bergerak cepat?

Hari ini, anak-anak Melayu di Medan lebih fasih dengan budaya pop Korea ketimbang syair Gurindam Dua Belas. Mereka tak lagi kenal siapa itu Puteri Hijau? Bagaimana peran Sultan Ma'moen Al Rasyid pada masa kejayaannya?

Mereka lebih akrab dengan dunia digital daripada nilai-nilai adat. Hal ini bukan salah mereka, tapi di mana peran kita dalam menjaga warisan ini?

Kita kerap mengklaim bahwa Melayu adalah akar dari peradaban kota ini, tapi sejauh mana kita memperjuangkannya?

Medan hari ini lebih sering dikaitkan dengan kerasnya persaingan ekonomi, suara lantang kawan-kawan kita dari etnis Batak, dominasi bisnis kawan-kawan dari etnis Tionghoa, dan semangat perantauan Urang Minang.

Melayu? Kadang hanya muncul dalam nostalgia atau seremoni adat yang sesekali dipentaskan.

Tantangan Sosial: Ekonomi, Politik, dan Representasi

Ada fakta yang tak bisa kita hindari: secara ekonomi, Melayu di Medan tak sekuat kelompok lain. Ketika Tionghoa menguasai bisnis, Batak menguasai birokrasi, dan Minang mendominasi perdagangan, di mana posisi Melayu?

Apakah mungkin karena masih banyak anak muda Melayu yang terjebak dalam pola pikir “cukup asal ada kerja,” bukan “harus jadi pemimpin.”

Ini bukan sekadar stereotip, tapi kenyataan yang harus kita hadapi. Pendidikan belum menjadi prioritas utama, dan mentalitas "berserah kepada nasib" sering kali lebih dominan daripada semangat berkompetisi.

Di dunia politik, suara Melayu juga tak begitu nyaring. Daya tawarnya rendah. Banyak puak Melayu yang cukup puas hanya karena calon walikota audiensi dengan Sultan Deli, atau sekedar berangkat dari Istana Maimun sebelum ke KPU.

Padahal, dulu Kesultanan Deli punya peran besar dalam membentuk lanskap sosial dan ekonomi kota ini. Kini, posisi strategis lebih banyak diisi oleh kelompok lain. Apakah ini karena Melayu tak lagi punya daya tawar, atau karena kita sendiri yang terlalu nyaman di zona aman?

Modernisasi: Ancaman atau Peluang?

Modernisasi tak bisa kita lawan, tapi bisa kita manfaatkan. Budaya Melayu tak seharusnya hanya jadi pajangan di festival tahunan atau sekadar warisan yang dikenang dalam buku sejarah. Ia harus hidup, beradaptasi, dan relevan di era digital.

Lihat bagaimana Minang tetap teguh dalam sistem rantau dan bisnisnya. Bagaimana Tionghoa mempertahankan jaringan ekonomi mereka. Melayu bisa belajar dari mereka, bukan untuk meniru, tapi untuk kembali menemukan caranya sendiri dalam bertahan dan bangkit.

Medan bisa tetap jadi kota yang heterogen tanpa harus mengorbankan identitas Melayu. Tapi itu butuh keberanian—keberanian untuk keluar dari pola pikir lama, untuk masuk ke dunia bisnis, politik dan pendidikan dengan lebih serius.

Menjaga Melayu Tetap Hidup

Identitas tak sekadar simbol. Ia harus punya daya tawar. Melayu di Medan harus lebih dari sekadar adat dan seremonial. Ia harus masuk ke ruang-ruang strategis, menjadi pemimpin di kotanya sendiri.

Jika kita ingin Melayu tetap ada di Medan, maka kita harus lebih dari sekadar penonton sejarah. Sebab, identitas bukan sesuatu yang diberikan, tapi sesuatu yang diperjuangkan.

Bagaimana menurut Anda? Apakah Melayu di Medan masih punya masa depan, atau justru semakin tergerus oleh zaman?

(AP)

channel whastapp langkatoday