The Vajra

Politik Uang (Money Politics) Merusak Esensi Kewarganegaraan dan Demokrasi

Table of Contents

Oleh: Silvia Paramita
Mahasiswa Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia

JAKARTA (Langkatoday) - Suara rakyat adalah pilar utama dalam sistem demokrasi untuk menentukan usia dan durasi sebuah negara. Namun, prinsip ini sering kali dilanggar oleh politik ekonomi, yang tidak hanya merusak proses demokrasi, tetapi juga merusak rasa kewarganegaraan. Politik uang (Money Politics) adalah praktik pemberian materi, baik dalam bentuk uang maupun yang lainnya, seperti sembako, sebagai alat untuk mempengaruhi keputusan politik seseorang. Praktik ini merupakan bentuk manipulasi yang menipu karena menghalangi kemampuan masyarakat untuk memilih dan menantang pejabat yang terpilih.

Kebijakan moneter yang sistematis mereduksi populasi bangsa menjadi objek pasif yang hanya dibutuhkan pada saat pembelian. Menurut Aristoteles, manusia adalah zoon politikon (makhluk politik) yang secara kodrati terlibat dalam urusan publik. Di saat yang sama, partisipasi mereka lebih didasarkan pada kebutuhan ekonomi ketimbang keyakinan dan opini politik. Hal ini menjadikan pemilu sebagai alat transaksional daripada sebagai ekspresi aspirasi. Fenomena ini sangat mewakili nilai-nilai demokrasi yang mendasari kejujuran, keterbukaan, dan persaingan ideologis.

Demokrasi yang ideal mendorong warga negara untuk memilih kandidat berdasarkan kualifikasi, tujuan, dan program mereka. Namun, dalam konteks kebijakan ekonomi, pertimbangan rasional ini menguntungkan. Kandidat dengan pendapatan yang lebih tinggi memiliki lebih banyak kesempatan untuk berhasil, berdasarkan integritas dan kualitas mereka. Hal ini menciptakan sebuah oligarki di mana para penguasa adalah para elit yang dapat “membeli” legitimasi dari masyarakat umum.

Praktik politik ekonomi juga mempengaruhi kemampuan masyarakat untuk membayar. Jika seseorang tidak loyal karena kesulitan keuangan, loyalitas mereka kepada publik tidak berkurang, karena mereka mengekspresikannya kepada donor atau pemodal yang mendukung mereka dalam perjalanan kekuasaan mereka. Dalam jangka panjang, hal ini merupakan korupsi dan penggunaan kekerasan. Abraham Samad, mantan Ketua KPK, menyatakan bahwa “Politik uang adalah pintu masuk dari semua jenis korupsi.” Menurut ucapan ini, korupsi politik muncul dari prosedur kekuasaan yang tidak sehat.

Secara lebih spesifik, politik ekonomi juga menciptakan kemiskinan politik. Di satu sisi, kesediaan masyarakat untuk menerima uang dalam pemilu secara konsisten mencerminkan pentingnya partisipasi aktif dan pengawasan dalam pemerintahan. 

Di sisi lain, para kandidat yang telah “menanamkan” banyak uang di perusahaan akan dapat “mengembalikan modal” dengan berbagai cara, termasuk korupsi. Akibatnya, pembangunan menjadi tidak efektif dan masyarakat terjebak dalam lingkaran ketertinggalan.

Kondisi ini menunjukkan betapa kewarganegaraan yang lebih lazim terjadi pada populasi umum. Kewarganegaraan, yang memiliki komitmen aktif terhadap nilai-nilai publik, bukanlah status administratif. Dalam demokrasi, warga negara harus berperan sebagai pengamat, pengkritik, dan sesekali menjadi partisipan dalam proses politik. Politik uang mengikis peran ini dan menjadikan warga sebagai penonton pasif, bahkan korban dari sistem yang seharusnya menjadi harapan.

Upaya untuk memastikan bahwa kebijakan ekonomi tidak terbatas pada penegakan hukum. Meskipun Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah menetapkan kerangka kerja untuk kebijakan ekonomi dan sosial, implementasinya masih menghadapi banyak tantangan. Karena takut atau telah “menikmati” keuntungan sesaat, penindakan sering kali tidak tegas, dan masyarakat umum tetap tidak terpengaruh. 

Oleh karena itu, solusi jangka panjang harus mendukung pendidikan politik yang luas dan komprehensif. Pendidikan politik warga negara harus dibangun sejak dini, misalnya, melalui kurikulum pendidikan kewarganegaraan yang menekankan pentingnya integritas, tanggung jawab, dan partisipasi aktif. Selain itu, media massa dan organisasi masyarakat harus aktif dalam mendidik masyarakat tentang dampak negatif dari politik ekonomi. Seperti yang dinyatakan oleh Amartya Sen, “Demokrasi bukan hanya tentang orang, tetapi juga tentang komunikasi dan debat publik yang berkelanjutan.” Oleh karena itu, kebijakan moneter harus menjadi topik publik yang terus menerus didiskusikan.

Kita juga perlu mereformasi sistem reformasi politik. Akan selalu ada peluang politik uang karena biaya kampanye yang tinggi dan sumber dana yang tidak transparan. Negara harus menyediakan dana kampanye yang memadai, dengan mekanisme audit yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan cara ini, kompetensi politik dapat menjadi lebih adil dan terbuka bagi semua anggota bangsa, tidak hanya bagi mereka yang memiliki sumber daya yang besar.

Singkatnya, politik ekonomi adalah sebuah bentuk kritik terhadap demokrasi dan pemerintahan. Ia menjauhkan rakyat dari kedaulatan yang sejati dan mempersempit ruang bagi keadilan dan kemajuan. Akibatnya, setiap warga negara memiliki kewajiban moral untuk menegakkan dan menegakkan praktik ini, yang pada akhirnya akan mengarah pada demokrasi yang lebih stabil dan sehat.

channel whastapp langkatoday