Polres Langkat Serius Perangi Narkoba, Publik Harus Ikut Membantu bukan Menghakimi
STABAT (Langkatoday) - Di tengah gempuran informasi dan opini yang berseliweran di ruang publik, sering kali aparat kepolisian—khususnya satuan narkoba—menjadi sasaran kritik, bahkan tuduhan tanpa dasar.
Padahal, keberadaan narkoba di tengah masyarakat tak mungkin bertahan jika tidak ada ruang pembiaran dari lingkungan sekitar.
Ini adalah persoalan struktural dan kultural yang memerlukan kesadaran kolektif, bukan hanya sorotan sepihak.
Sudah waktunya publik berpikir lebih jernih: apakah kita benar-benar ingin memberantas narkoba, atau hanya mencari panggung di balik isu besar ini?
Belakangan ini, opini publik seolah diarahkan untuk memojokkan aparat penegak hukum, terutama Satuan Reserse Narkoba (Satresnarkoba).
Seakan-akan maraknya peredaran narkoba di masyarakat adalah bukti bahwa polisi lalai, membiarkan, atau bahkan bermain mata dengan para bandar. Pandangan seperti ini bukan hanya keliru, tetapi juga tidak adil.
Narkoba memang telah menjadi penyakit sosial yang merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Namun, menimpakan seluruh beban dan tanggung jawab pemberantasannya kepada kepolisian saja adalah bentuk pengingkaran terhadap tanggung jawab kolektif kita sebagai warga negara.
Jika narkoba ada di sekitar kita, itu juga karena adanya pembiaran dari lingkungan—entah karena takut, acuh, atau justru karena ada keterlibatan diam-diam. Padahal, polisi—khususnya Satresnarkoba Polres Langkat—tidak tinggal diam.
Dari data Februari hingga April 2025, ada 115 kasus tindak pidana narkoba yang diungkap, dengan 135 tersangka yang diamankan, baik pengedar, pemakai, hingga bandar.
Barang bukti yang disita juga tidak sedikit: lebih dari 336 gram sabu, ganja, dan ekstasi dalam berbagai bentuk—semuanya diamankan dan dimusnahkan sesuai prosedur hukum. Bukti nyata bahwa kerja keras itu terus berlangsung.
Kapolres Langkat AKBP David Triyo Prasojo S.H, S.IK, M.Si melalui Kasatres Narkoba AKP Rudi Syahputra menegaskan komitmen institusinya dalam memberantas narkoba.
"Kami tegas soal narkoba, tidak ada istilah pembiaran. Semua informasi dari masyarakat pasti kami tindak lanjuti. Kami telah melakukan penindakan di seluruh kecamatan di Kabupaten Langkat," tegasnya.
Ironisnya, ketika polisi sedang berjibaku di lapangan, muncul pula aksi-aksi demo dari sekelompok orang yang mengatasnamakan mahasiswa.
Mereka berdiri di jalan dengan pengeras suara, menyebut daerah-daerah rawan narkoba, menuding aparat sebagai tidak maksimal, bahkan dituduh “bermain mata” dengan para pelaku kejahatan.
Pertanyaannya: benarkah aksi-aksi ini murni lahir dari keresahan terhadap maraknya narkoba? Atau jangan-jangan hanya sekadar alat tawar-menawar untuk kepentingan lain?
Tidak sedikit indikasi bahwa demo semacam ini hanya ingin mencari “negosiasi”—mencari perhatian agar dipanggil, dilayani, atau bahkan “mengerti sama mengerti”.
Jika tuntutan mereka diabaikan, maka demo tetap digelar. Namun jika “nego” diterima, maka orasi pun urung dilakukan.
Inilah ironi yang sangat memprihatinkan. Narkoba dijadikan alat politisasi dan pencitraan semata.
Jika memang ingin benar-benar memerangi narkoba, lakukanlah dengan langkah konkret.
Berikan informasi yang valid kepada kepolisian. Ajak kolaborasi, bukan hanya tudingan.
Bila perlu, ikut bersama aparat saat melakukan penggerebekan. Itu jauh lebih terhormat ketimbang melempar suara dari jalanan tanpa kontribusi nyata.
Polisi bukan malaikat. Mereka manusia biasa yang bekerja dalam keterbatasan.
Tapi menutup mata terhadap kerja keras mereka hanya akan membuat perjuangan melawan narkoba menjadi timpang. Mari bersikap adil.
Beri kritik bila perlu, tapi jangan lupakan bahwa perang melawan narkoba adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya milik Polisi. (rel/yg)