Saat Kaur Keuangan Diduga jadi "Algojo" Anggaran Dana Desa di Langkat
STABAT (Langkatoday) - Dana Desa adalah mandat undang-undang. Ia bukan hadiah, bukan hibah, apalagi alat tawar-menawar. Melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, negara secara tegas mengalokasikan Dana Desa untuk membangun dari pinggiran, memperkuat desa sebagai entitas otonom yang berdaya dan bermartabat. Namun celakanya, semangat itu seringkali dibelokkan oleh segelintir pejabat yang menjadikan kewenangan sebagai alat pemerasan.
Kasus dugaan pungutan liar yang menyeret oknum Kabid Pemdes Langkat, dengan dugaan keterlibatan sejumlah Kaur Keuangan Desa adalah cerminan telanjang dari penyalahgunaan jabatan. Tindakan seperti ini tidak hanya mencederai etika birokrasi, tetapi juga berpotensi melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan:
"Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar."
Apa yang lebih terang dari itu? Jika benar ada permainan sistematis yang melibatkan pemotongan dana, manipulasi R-APBDes, hingga kegiatan “titipan” yang disusupkan melalui Kaur Keuangan Desa, maka ini bukan sekadar pelanggaran administratif—ini adalah indikasi kuat tindak pidana korupsi yang harus diselidiki secara serius oleh aparat penegak hukum.
Ketika jabatan dijadikan alat untuk memalak, maka demokrasi lokal yang diidamkan dalam semangat UU Desa sejatinya sedang dibunuh pelan-pelan. Maka wajar jika publik menuntut: periksa seluruh Kaur Keuangan Desa se-Kabupaten Langkat—karena dari merekalah dugaan “pintu masuk” penggerogotan Dana Desa terbuka lebar.
Kepala boleh berganti, tapi penyakit lama di tubuh birokrasi Pemerintah Kabupaten Langkat tampaknya belum juga sembuh. Belum genap 100 hari masa kerja Bupati baru, publik sudah disuguhi pemandangan memalukan: aksi unjuk rasa mahasiswa menggugat Dinas PMD Langkat, menuntut pencopotan pejabat dan investigasi atas dugaan penyalahgunaan wewenang.
Pusat pusaran masalah kali ini mengarah pada Kabid Pemdes berinisial Ard. Ia dituding memalak setiap desa sebesar Rp1 juta untuk memuluskan pencairan Dana Desa tahun anggaran 2025. Yang mengejutkan bukan hanya jumlahnya, tapi pola permainannya. Sumber internal menyebut, permainan ini tidak dilakukan lewat prosedur resmi, melainkan melalui jalur sunyi: Kaur Keuangan Desa.
Ya, Kaur Keuangan. Pejabat tingkat desa yang seharusnya menjaga akuntabilitas anggaran, justru diduga menjadi pintu masuk utama permainan busuk ini. R-APBDes yang telah disepakati bisa diutak-atik lagi demi memasukkan “kegiatan titipan” dari atas. Tanpa musyawarah ulang, tanpa transparansi. Hanya cukup satu jalur: komunikasi diam-diam antara Kabid dan Kaur.
Sistem ini tidak lahir semalam. Ia tumbuh dalam budaya diam, ketakutan, dan ketergantungan. Para Kades lebih takut pada Kabid daripada Kadisnya sendiri. Karena dalam praktiknya, yang mengendalikan uang bukan lagi pemimpin desa, melainkan aktor bayangan yang bersembunyi di balik jabatan teknis.
Sudah waktunya ini dihentikan. Jika Pemkab Langkat benar-benar ingin menegakkan pemerintahan yang bersih dan berpihak pada rakyat, maka audit menyeluruh terhadap Kaur Keuangan Desa se-Langkat adalah langkah awal yang tidak bisa ditunda.
Kaur bukan sekadar pelaksana teknis, tapi kini justru menjadi titik krusial dalam pusaran dugaan korupsi Dana Desa. Pemeriksaan menyeluruh dan terbuka akan menjadi ujian serius bagi integritas pemerintahan saat ini. Jangan biarkan dana rakyat terus digerogoti lewat celah yang dibiarkan terbuka.
Kalau dibiarkan, maka bukan hanya Dana Desa yang rusak—kepercayaan publik pun akan ikut ambruk. (rel/yong)