100 Ribu PNS di Vietnam Kena PHK
JAKARTA (Langkatoday) - Perombakan besar-besaran birokrasi di Vietnam dengan pemangkasan 100 ribu posisi pemerintahan, termasuk 80.000 jabatan yang dipangkas per 30 Juni 2025, bertujuan untuk merampingkan birokrasi dan meningkatkan efisiensi ekonomi. Langkah ini, yang diawasi oleh pemimpin tertinggi Vietnam, To Lam, dinilai mirip dengan kebijakan yang diterapkan oleh Donald Trump di AS dan Javier Milei di Argentina.
Efisiensi dan Target Pertumbuhan Ekonomi
Pemerintah Vietnam beralasan bahwa reorganisasi ini akan membawa "skala yang kuat untuk menghubungkan bisnis yang kuat dan infrastruktur ekonomi," yang diharapkan dapat menciptakan "pembangunan sosial-ekonomi yang lebih besar."
Vietnam, yang merupakan pusat manufaktur global, mencatat pertumbuhan ekonomi 7,1% pada tahun 2024 dan menargetkan 8% pada tahun 2025, dengan ambisi mencapai status negara berpenghasilan menengah pada tahun 2030.
Sekjen Partai Komunis, To Lam, menyatakan bahwa keputusan ini merupakan tonggak sejarah untuk melanjutkan jalan menuju negara sosialis demi kebahagiaan rakyat.
Perasaan Campur Aduk di Kalangan Pejabat
Meskipun bertujuan efisiensi, perombakan ini menimbulkan perasaan campur aduk di kalangan pejabat yang terkena dampaknya.
Nguyen Van Cuong, mantan pejabat partai komunis di provinsi Bac Giang, memilih untuk menerima gaji sebesar US$75.000 (sekitar Rp 1,2 miliar) untuk sisa enam tahun jabatannya setelah 30 tahun berkarier di negara bagian. Ia merasa sia-sia kehilangan orang sepertinya, namun tetap senang meskipun tidak memiliki pekerjaan dan merasa masih bisa berkontribusi bagi negara.
Di sisi lain, Nguyen Thi Thu, mantan sekretaris tingkat distrik berusia 50 tahun, merasa gelisah setelah meninggalkan pekerjaan publik yang dulunya dianggap sebagai pekerjaan seumur hidup.
Ia merasa tidak punya pilihan selain mengundurkan diri ketika kantornya dipindahkan lebih dari 70 km dari rumahnya, memilih mengundurkan diri daripada menunggu perintah pemecatan. Thu mengaku bingung tentang masa depannya.
Tantangan dari Mitra Dagang Utama
Di tengah upaya efisiensi ini, Vietnam juga menghadapi tantangan dari mitra dagang utamanya, Amerika Serikat. Presiden AS Donald Trump mengancam tarif sebesar 46% sebelum akhirnya memutuskan tarif 20% yang diumumkan pada 2 Juli 2025, lima kali lipat lebih tinggi dari tarif sebelum ia menjabat untuk kedua kalinya. Ini menjadi hambatan yang harus dihadapi Vietnam dalam mencapai target pertumbuhan ekonominya.