UPDATE
The Vajra

Amril dan Simbol Kekuasaan Terpusat di Langkat

STABAT (Langkatoday) - Ada yang tak wajar namun dibiarkan. Ada yang terang namun seolah dilihat gelap. Itulah yang terjadi hari ini di tubuh Pemerintah Kabupaten Langkat. Di tengah semangat transparansi, partisipasi, dan meritokrasi, muncul satu nama yang mencolok karena terlalu banyak menguasai posisi strategis.

Ya, H. Amril, S.Sos., M.AP.

Beliau kini menjabat sebagai Sekretaris Daerah (Sekda), sebuah jabatan karier tertinggi dalam struktur birokrasi sipil daerah. Tapi belum cukup sampai di situ. Nama Amril juga tersemat sebagai Ketua Dewan Pengawas PDAM Tirta Wampu, Ketua LPTQ Kabupaten Langkat, dan terbaru: Komisaris Utama BUMD Langkat Setia Negeri (Perseroda).

Bukan satu, bukan dua, melainkan empat jabatan strategis dan "berduit" yang digenggam satu tangan.

Logika Politik: Sentralisasi Kuasa, Dekadensi Etika

Dalam politik, akumulasi kekuasaan adalah indikator awal dari oligarki. Jika dalam perusahaan swasta seorang CEO memonopoli keputusan, itu bisa diterima dalam logika pasar. Tapi ketika di pemerintahan, satu orang menguasai posisi yang memiliki kontrol administratif, pengawasan keuangan, pengelolaan keagamaan, hingga arah bisnis daerah itu bukan profesionalisme, tapi kerakusan yang dilegalkan.

H. Amril seolah menjadikan jabatan sebagai koleksi pribadi, bukan amanah yang harus dibagi. Ia bukan hanya tokoh birokrasi, tetapi juga sudah menjelma menjadi pusat kekuasaan informal di balik keputusan-keputusan penting daerah.

Padahal, dalam prinsip demokrasi lokal dan otonomi daerah, jabatan publik harus disebarkan, dibagi, dan dikontrol. Bukan dikumpulkan dalam satu tangan, apalagi hanya demi gaji, insentif, dan pengaruh.

Kritik Tajam: Dimana Moralitas Birokrasi Kita?

Pertanyaan penting yang harus dijawab:

  • Apakah Langkat kekurangan SDM berkualitas?
  • Apakah hanya satu nama yang layak duduk di setiap jabatan strategis?
  • Atau, ini adalah bentuk "sistem teman sendiri", di mana loyalitas lebih utama daripada kompetensi?

Jika pejabat birokrasi sudah bertindak seperti elit politik yang mengincar semua posisi basah, maka kita tidak sedang membangun pemerintahan, tapi sedang menyuburkan feodalisme gaya baru. Pemerintahan semestinya mengayomi banyak, bukan memuaskan segelintir.

Dan ketika Sekda ikut menjadi Komisaris Utama BUMD, lalu siapa yang akan mengawasi kinerja BUMD? Bagaimana publik bisa percaya terhadap akuntabilitas, jika semua posisi pengambil kebijakan dipegang oleh orang yang sama?

Ini bukan tentang Amril saja. Ini tentang kegagalan sistem yang membiarkan jabatan menjadi rebutan elite birokrasi, tanpa ada kontrol dari legislatif, media, maupun masyarakat sipil.

Jabatan Bukan Milik Keluarga, Apalagi Pribadi

Jika jabatan terus ditumpuk oleh satu orang, maka publik kehilangan ruang keterwakilan. Dan ketika publik tidak lagi memiliki akses terhadap ruang-ruang pengambilan keputusan, maka demokrasi hanya tinggal papan nama.

H. Amril mungkin punya kapasitas. Tapi saat kapasitas menjelma menjadi kerakusan, maka kita sedang menonton degradasi moral birokrasi -bukan kepemimpinan.

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar