BUMD atau Balas Jasa Politik? Ketika Timses Duduki Semua Kursi
STABAT (Langkatoday) - Masih ingkat istilah “Papa minta saham” ini adalah ungkapan yang dulu mengguncang republik ketika kekuasaan dijadikan alat tawar-menawar di ruang gelap, kini seolah menjelma kembali dalam wujud lokal yang lebih halus namun tidak kalah meresahkan: “Timses minta jabatan.”
Fenomena ini begitu terasa dalam hasil seleksi Komisaris dan Direksi BUMD Langkat Setia Negeri (Perseroda) periode 2025–2029.
Berdasarkan pengumuman final, publik dikejutkan oleh deretan nama yang disebut-sebut sebagai “tim sukses” dari Bupati Langkat saat ini, Syah Afandin, dalam kontestasi politik Pilkada yang lalu.
Alih-alih mengangkat profesional dengan rekam jejak bisnis atau tata kelola korporasi, hasil seleksi justru dipenuhi oleh orang-orang yang sebelumnya dikenal sebagai bagian dari jaringan politik pemenangan. Nama-nama yang akrab di lingkaran “Orang Dekat”, bukan di dunia manajemen BUMD.
BUMD Bukan Alat Balas Jasa Politik
BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) sejatinya adalah entitas bisnis publik. Ia harus dikelola secara profesional, transparan, dan akuntabel karena menyangkut uang rakyat dan aset daerah.
Tapi jika kursi komisaris dan direksi menjadi imbalan untuk jasa kampanye, maka kita sedang mengotori institusi dengan kepentingan politik sesaat.
Logika publik pun tercederai, bagaimana bisa entitas bisnis yang seharusnya menjawab tantangan ekonomi lokal justru diisi oleh orang-orang yang tak punya pengalaman korporasi, melainkan pengalaman menjadi bagian dari tim pemenangan?
Jabatan BUMD Bukan Hadiah Politik
Ketika seorang kepala daerah mengangkat tim sukses menjadi petinggi BUMD, maka pesan yang dikirim kepada rakyat sangat jelas: “Dukung saya, maka jabatan bisa kalian miliki.” Ini bukan demokrasi, tapi transaksi.
Dan ketika transaksi itu terjadi secara masif dan terbuka, jangan salahkan rakyat jika kemudian menuding bahwa BUMD Langkat bukan dikelola untuk kemakmuran publik, tetapi untuk menyejahterakan kroni dan loyalis politik.
Ini mirip dengan cerita "Papa minta saham", tapi versi daerah. Bedanya, kali ini bukan saham yang diminta, tapi jabatan, gaji besar, dan akses ke proyek-proyek strategis.
Lenyapnya Kepercayaan Publik
Lebih dari sekadar masalah moral, kondisi ini berbahaya bagi keberlangsungan BUMD sendiri. Ketika jabatan penting diisi bukan oleh orang yang ahli, melainkan yang "berjasa", maka jangan heran jika kinerja perusahaan mandek, gagal ekspansi, dan berujung merugi.
Lebih parah lagi, kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah makin runtuh. Rakyat akan berpikir: “Kenapa harus bayar pajak, jika uangnya hanya untuk memanjakan elit politik?”
Profesionalisme Atau Nepotisme, Pilih yang Mana?
Kita tidak menolak mantan tim sukses menjadi pejabat. Tapi kita menolak jabatan diberikan semata karena jasa politik, bukan karena kompetensi dan integritas.
BUMD adalah mesin ekonomi daerah. Jika mesinnya rusak karena diisi oleh orang-orang yang salah, maka rakyatlah yang paling duluan menanggung akibatnya.
Kepada Pemerintah Kabupaten Langkat, tanyakan kembali: Apakah kita ingin membangun BUMD yang kuat dan mandiri, atau hanya menjadikannya ladang politik dan pelarian bagi orang-orang yang kalah kompetensi tapi menang kedekatan?