UPDATE
The Vajra

Kearifan Lokal Warga Langkat: Menjaga Mangrove, Menyelamatkan Masa Depan

STABAT (Langkatoday) - Dari Sabang sampai Merauke, Indonesia menyimpan kearifan lokal yang kaya, termasuk dalam menjaga keseimbangan alam. Di pesisir Kabupaten Langkat, Sumatra Utara, misalnya, masyarakat setempat punya cara tersendiri untuk menjaga hutan mangrove, cara yang bukan hanya tradisi, tapi juga bentuk kecintaan terhadap lingkungan yang diwariskan turun-temurun.

Sebuah studi terbaru yang dilakukan oleh Elfayetti dan Rohani dari Universitas Negeri Medan, bersama Herdi dari Universitas Muslim Nusantara Al Washliyah, mengungkap hal menarik tentang hal ini. Dalam penelitian yang dipublikasikan di Proceedings of the 6th International Conference on Social Sciences and Interdisciplinary Studies (ICSSIS 2024), mereka menyoroti pengetahuan, sikap, dan kearifan lokal masyarakat pesisir Langkat dalam mengelola mangrove.

“Peran masyarakat sangat penting dalam mengelola mangrove di Kabupaten Langkat. Masyarakat hendaknya memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi dan komitmen untuk bersikap positif terhadap hutan mangrove di desanya,” tulis para peneliti.

Penelitian dilakukan melalui kuesioner dan wawancara terhadap 109 anggota kelompok tani mangrove. Hasilnya, pengetahuan masyarakat terhadap mangrove terbilang tinggi, dengan skor rata-rata 3,98 dari skala 5. Sikap mereka terhadap pelestarian mangrove bahkan lebih tinggi lagi, yakni 4,29.

Namun, yang membuat studi ini istimewa adalah temuan mengenai kearifan lokal. Warga Langkat memiliki aturan adat yang ketat dalam mengelola mangrove. Setiap penebangan batang mangrove harus mendapatkan izin dari pemerintah desa, dan hanya batang atau ranting yang sudah mati yang boleh dimanfaatkan. Penebangan untuk tujuan komersial dilarang keras, dan pelanggar bisa dijatuhi sanksi, termasuk kewajiban menanam kembali pohon mangrove.

Kearifan semacam ini bukan hanya menjaga alam, tapi juga menciptakan keseimbangan antara ekonomi, ekologi, dan sosial. Tak heran jika Langkat menyimpan sekitar 36,73% dari total luas hutan mangrove di Sumatera Utara—yakni 21.102 hektare dari total 57.450 hektare.

Sayangnya, tantangan tetap ada. Sekitar 13.395 hektare mangrove di Langkat dilaporkan rusak atau berubah fungsi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit dan tambak. Artinya, sebagian masyarakat masih abai terhadap nilai-nilai adat yang telah terbukti menjaga ekosistem pesisir selama ratusan tahun.

Fenomena ini bukan hanya terjadi di Langkat. Di berbagai daerah pesisir Indonesia, kearifan lokal menjadi garda depan konservasi alam. Misalnya di Gonda Mangrove Park, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, masyarakat mengenal kepercayaan diposara mappaleo—larangan menebang mangrove karena diyakini bisa membawa petaka. Di Buton Tengah, Sulawesi Tenggara, warga rutin menggelar gotong royong untuk menanam kembali mangrove setelah penebangan.

Semua ini menunjukkan bahwa kearifan lokal bukan sekadar warisan budaya, tetapi solusi ekologis yang relevan hingga kini. Seperti yang disimpulkan para peneliti, “Pengetahuan adat masyarakat lokal penting untuk konservasi mangrove yang efektif. Masyarakat lokal harus diakui sebagai mitra, bukan sebagai objek, dalam pengelolaan mangrove jangka panjang.”

Kisah warga pesisir Langkat adalah pengingat bahwa menjaga alam tidak selalu membutuhkan teknologi canggih. Kadang, jawabannya sudah lama ada—tertanam dalam kearifan yang diajarkan para leluhur.

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar