Polres Langkat dan Ilusi Penegakan Hukum di Bawah Kepemimpinan AKBP David Triyo Prasojo
STABAT (Langkatoday) - Kapasitas merespon masalah-masalah strategis yang terjadi di masyarakat dapat menentukan kualitas kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian. Akan tetapi, di beberapa wilayah, terjadi anomali: ketidakhadiran penegak hukum dalam momentum penting justru semakin terlihat saat publik membutuhkan tindakan nyata.
Kita dapat mengamati fenomena ini dengan mencermati kinerja Kepolisian Resor (Polres) Langkat di bawah kepemimpinan AKBP David Triyo Prasojo. Sepintas, aktivitas institusi tampak berjalan: menyelesaikan konflik sosial, hadir dalam kegiatan masyarakat, serta aktif secara seremonial. Namun, saat kita menelisik lebih dalam, kinerja strategis penegakan hukum menunjukkan kekosongan yang mengkhawatirkan.
Kinerja Simbolik
Dalam bulan terakhir, Polda Sumatera Utara mencatat dua pengungkapan besar yang terjadi di wilayah hukum Langkat. Pertama, penangkapan kurir narkoba jenis sabu dengan barang bukti 30 kilogram sabu.
Tim Ditresnarkoba Polda Sumut menangkap pelaku dan menggagalkan peredaran narkoba itu di Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat, pada Selasa, 27 Mei 2025.
Pihaknya juga menyebut 2 kurir itu bekerja dengan jaringan internasional di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Kepolisian Polda Sumut menetapkan dua pelaku menjadi tersangka dalam kasus tersebut.
Kedua, penggerebekan tempat hiburan malam di Bahorok oleh Ditresnarkoba Polda Sumut, Sabtu, 31 Mei 2025 malam.
Ironisnya, penggerebekan itu terjadi setelah jajaran Polres Langkat melalui Polsek Bahorok menggelar razia pada Jumat, 23 Mei 2025. Saat itu, mereka hanya mengetes urine tiga pengunjung Diskotek Blue Sky, dan hasilnya negatif. Dan hanya menemukan 10 (sepuluh) botol minuman beralkohol seperti Bir, Anggur Merah dan Sozu.
Namun saat, Ditres Narkoba Polda Sumut melakukan pengerebekan seminggu kemudian. Polisi menemukan barang bukti (BB) narkoba jenis ekstasi dan happy five (H5) sebanyak lima papan. Serta turut mengamankan 9 sembilan orang, satu diantaranya pemilik Diskotek Blue Sky berinisial HG.
Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: di manakah peran dan inisiatif satuan kepolisian lokal? Apakah mereka benar-benar memiliki sistem deteksi dan pengungkapan di lapangan? Atau justru hanya bergerak dalam lingkaran kegiatan yang bersifat kosmetik dan seremonial? Ibarat sandiwara opera sabun.
Pembacokan Porsenil Polda Sumut
Lebih dari itu, hingga saat ini belum ada kejelasan terhadap pengungkapan kasus pembacokan terhadap personel Polda Sumut yang terjadi di wilayah Langkat. Sudah 45 hari berlalu.
Pada Selasa, 22 April 2025, bandar narkoba menyerang Roni Damara Sitepu saat ia menyamar dan melakukan pembelian terselubung di Desa Pekubuan, Kecamatan Tanjungpura, Kabupaten Langkat.
Pelaku pembacokan terhadap Roni Damara Sitepu, personel Ditresnarkoba Polda Sumut, masih buron hingga kini.
Ketika aparat keamanan pun tak memperoleh keadilan, publik tentu merasa semakin rentan dan pesimistis kinerja Kepolisian, terkhusus Polres Langkat di bawah kepemimpinan AKBP David Triyo Prasojo.
Penegakan Hukum yang Reduktif
Aparat kepolisian seharusnya hadir sebagai garda depan dalam merespons ancaman—bukan sekadar penonton di tengah situasi genting. Tugas utama mereka adalah menjamin rasa aman warga negara, bukan hanya memproduksi narasi-narasi kinerja yang tidak menyentuh substansi persoalan.
Langkat merupakan wilayah yang berpotensi menjadi jalur transit peredaran narkotika dan aktivitas kriminal lintas kabupaten. Karena itu, pendekatan preventif dan penegakan hukum yang berani menjadi kunci penting. Mengukur kinerja kepolisian tidak cukup hanya dari aktivitas sosial atau kehadiran simbolik di tengah masyarakat.
Kegiatan-kegiatan sosial tentu penting dalam membangun kedekatan dengan masyarakat. Namun, jika menjadikan sebagai tolok ukur utama pencapaian, maka kita tengah menggeser orientasi lembaga penegak hukum menjadi lembaga relasi publik belaka.
Evaluasi dan Tanggung Jawab
Masyarakat membutuhkan kehadiran aparat yang peka terhadap eskalasi kejahatan dan memiliki keberanian mengambil tindakan. Kinerja kepolisian harus terukur pada keberhasilan penanganan kasus besar, kecepatan respons terhadap tindak kekerasan, serta daya cegah terhadap kejahatan sistemik.
Evaluasi terhadap Kapolres Langkat menjadi sangat penting, oleh institusi di atasnya. Kapolri dan Kapolda Sumatera Utara perlu menjadikan situasi ini sebagai bahan mengevalusi. Jangan sampai wilayah-wilayah rawan di Sumatera Utara justru menjadi titik lemah karena tidak mendapatkan pengawasan dan penanganan yang layak.
Jika tidak ada koreksi, bukan tidak mungkin kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian lokal akan terus merosot. Lebih jauh lagi, situasi ini dapat melahirkan ketidakstabilan sosial yang lebih luas.
Reformasi kultural dan struktural di tubuh Polri adalah proses yang panjang. Namun, untuk menjadikannya nyata, perlu memulainya dari hal-hal mendasar: kehadiran, ketegasan, dan kemampuan menindak tanpa pandang bulu. Tanpa itu, citra kepolisian hanya akan menjadi cerita panggung yang jauh dari kenyataan.
Langkat bukan panggung opera sabun. Ia adalah tanah yang membutuhkan perlindungan dan keadilan. Jika institusi lokal tak mampu menjawab tantangan itu, maka saatnya masyarakat dan negara bersuara.