Jejak Minyak, Kekuasaan, dan Kesultanan: Menelusuri Aliansi Aeilko Jans Zijker dan Langkat
![]() |
Sosok Aeilko Jans Zijker, orang Belanda penemu tambang minyak pertama di Indonesia, Foto: Intisari Grid |
Oleh: Al Faqih
STABAT (Langkatoday) - Di balik gemerlap istana Kesultanan Langkat pada awal abad ke-20, tersimpan kisah kolaborasi strategis antara elite Melayu dan pengusaha kolonial yang mengubah wajah Pangkalan Brandan menjadi salah satu pusat industri minyak tertua di Asia Tenggara.
Sosok kunci dalam kisah ini adalah Aeilko Jans Zijker, pionir industri perminyakan Belanda, yang pada akhir abad ke-19 memimpin Royal Dutch Petroleum Company, cikal bakal raksasa energi global Royal Dutch Shell.
Awal Aliansi Minyak
Zijker tiba di Sumatra Timur pada periode ketika Belanda memperkuat cengkeraman ekonomi melalui sistem indirect rule. Kesultanan Langkat, yang saat itu berdaulat secara adat namun berada di bawah payung Hindia Belanda, memiliki kekayaan alam luar biasa: lahan perkebunan, hasil bumi, dan terutama cadangan minyak mentah di kawasan Pangkalan Brandan.
Tanpa persetujuan Sultan Langkat, mustahil Zijker dapat mengeksploitasi ladang minyak tersebut. Melalui serangkaian negosiasi dan kontrak konsesi, perusahaan minyak Belanda memperoleh hak penuh untuk mengebor, memproduksi, dan mengekspor minyak mentah.
Sebagai imbalannya, Kesultanan menerima royalti, pemasukan pajak, dan jaminan kelangsungan status politik dari pemerintah kolonial.
![]() |
Ilustrasi pengeboran minyak |
Bagi istana, aliansi ini menjadi sumber pendapatan baru yang melimpah. Dana dari minyak mengalir untuk membiayai pembangunan istana, pendidikan keluarga bangsawan, hingga memperkuat simbol kebudayaan Melayu.
Arsip kolonial Belanda mencatat bahwa pada dekade 1920-an, Kesultanan Langkat termasuk kerajaan terkaya di Sumatra Timur.
Namun, keuntungan itu tidak menetes merata ke rakyat. Sebagian besar pekerja lapangan adalah buruh kontrak dari luar daerah yang bekerja dengan upah rendah. Sementara itu, pengendalian penuh atas teknologi dan jalur distribusi tetap berada di tangan Belanda.
Struktur ekonomi ini menciptakan ketergantungan mendalam: tanpa perusahaan kolonial, kas Kesultanan akan kering.
Strategi Kolonial: Elite Lokal sebagai Penopang
Keterlibatan Sultan Langkat dalam industri minyak adalah contoh sempurna dari strategi kolonial Hindia Belanda: mengamankan komoditas strategis dengan menjadikan elite lokal sebagai mitra politik.
Arsip Koloniaal Verslag tahun 1899 menyebutkan bahwa “kestabilan politik di Sumatra Timur dijamin oleh kesetiaan penguasa pribumi terhadap pemerintah kolonial, terutama di wilayah penghasil minyak dan tembakau.”
Dengan kata lain, Belanda tidak sekadar menguasai tanah, tetapi juga memastikan penguasa lokal memiliki kepentingan untuk mempertahankan status quo. Dalam skema ini, Aeilko Jans Zijker adalah penghubung antara modal global dan kekuasaan lokal.
Warisan yang Masih Terasa
Hari ini, jejak hubungan itu masih membekas. Pangkalan Brandan memang tercatat sebagai salah satu tempat kelahiran industri minyak modern di Indonesia, tetapi kemakmuran jangka panjangnya tidak pernah benar-benar dinikmati oleh masyarakat Langkat secara luas.
Sumber daya yang dieksploitasi selama puluhan tahun tidak membentuk basis kemandirian ekonomi rakyat, melainkan meninggalkan warisan infrastruktur tua dan ingatan kolektif akan “masa kejayaan minyak” yang lebih banyak menguntungkan pihak asing dan elite tertentu.
Kisah Zijker dan Kesultanan Langkat adalah pengingat bahwa sejarah ekonomi kita seringkali dibentuk oleh aliansi yang menguntungkan segelintir pihak, sementara mayoritas rakyat hanya menjadi penonton.
Dalam konteks kekayaan alam, pertanyaannya tetap relevan: apakah kita sudah belajar dari sejarah, atau kita masih mengulang pola yang sama?