Kesultanan Langkat dan Ratu Belanda: Potret Loyalitas yang Menyisakan Tanya
Oleh: Al Faqih
STABAT (Langkatoday) - Sebuah foto lawas bertanggal 10 September 1938 memperlihatkan dua putri Sultan Langkat, Tengku Kalsum dan Tengku Latifa Khanum, bersimpuh di hadapan Ratu Wilhelmina dan Pangeran Bernhard di Stadion Olimpiade Amsterdam.
Mereka menyerahkan karangan bunga untuk merayakan 40 tahun penobatan sang ratu. Ribuan pasang mata menyaksikan, kamera mengabadikan, dan sejarah mencatat.
Bagi sebagian orang, momen ini bisa dibaca sebagai wujud penghormatan budaya. Namun, bagi pembacaan sejarah yang lebih kritis, ini adalah simbol paling gamblang dari hubungan feodal yang dipelihara oleh kolonialisme Belanda di Hindia Timur.
Politik Indirect Rule dan Kesultanan Langkat
Pada awal abad ke-20, Belanda menerapkan strategi indirect rule di banyak wilayah jajahan. Kesultanan Langkat adalah salah satu penerima manfaat langsung dan sekaligus, penerima konsekuensi.
Belanda memberikan pengakuan politik, hak istimewa tanah, dan perlindungan kekuasaan kepada sultan. Sebagai imbalannya, sultan dan keluarganya menunjukkan loyalitas mutlak, termasuk dalam arena simbolis seperti ini.
Gestur bersimpuh di hadapan ratu bukan sekadar sopan santun. Itu adalah pertunjukan visual bahwa kekuasaan lokal tunduk pada tahta kolonial.
Foto yang dipublikasikan ke seluruh dunia kala itu mengirim pesan: kekaisaran Belanda adalah "keluarga besar" yang terdiri dari bangsa-bangsa di bawah mahkota, meskipun kenyataannya adalah relasi kuasa yang timpang.
Diplomasi Budaya yang Membungkam Perlawanan
Dalam narasi resmi Belanda, menghadirkan bangsawan Melayu Langkat di acara kenegaraan Eropa adalah bukti harmoni kekaisaran multikultural. Namun, harmoni itu dibangun di atas penaklukan.
Sementara sebagian wilayah lain di Sumatra, seperti Aceh, masih bergolak melawan kolonialisme, Langkat tampil sebagai sekutu setia.
Kesultanan tidak dikenal sebagai pusat perlawanan bersenjata, melainkan sebagai penopang stabilitas kolonial di Sumatra Timur, terutama di sekitar perkebunan tembakau, karet, dan kelapa sawit yang menjadi urat nadi ekonomi Belanda.
Warisan yang Masih Terasa
Potret bersimpuh di Amsterdam pada 1938 adalah bagian dari warisan sejarah yang jarang dibicarakan. Ia menimbulkan pertanyaan besar: sejauh mana kejayaan Kesultanan Langkat dibangun di atas kedaulatan rakyat sendiri, dan sejauh mana ia berdiri karena restu kolonial?
Lebih jauh lagi, apakah warisan politik ini memengaruhi cara sebagian elite Langkat memandang kekuasaan hingga hari ini, mungkin masih menganggap legitimasi kekuasaan lebih penting daripada akuntabilitas kepada rakyat?
Menatap Masa Kini dengan Kacamata Sejarah
Menggali sejarah bukan berarti menafikan nilai budaya Melayu. Justru sebaliknya, ini adalah upaya memisahkan antara warisan yang lahir dari kearifan lokal dengan warisan yang dibentuk oleh penaklukan.
Foto itu mengingatkan kita bahwa simbol-simbol kebesaran masa lalu harus dibaca secara kritis: apakah ia lahir dari kemandirian, atau dari kompromi dengan penindasan?
📍Penang, 13 Agustus 2025