UPDATE
The Vajra

Pepatah yang Terlupa: Pelajaran dari Minang untuk Melayu Langkat

Foto: infosumbar.net

Oleh: Al Faqih

STABAT (Langkatoday) - "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung" pepatah yang sarat makna ini seharusnya menjadi pedoman hidup dalam masyarakat majemuk. Artinya, siapa pun yang tinggal di suatu daerah mestinya menghormati adat setempat. Namun, di Langkat, pepatah ini justru terasa berbalik arah.

Dengan jumlah penduduk sekitar 15,04% dari total populasi, suku Melayu di Langkat bukanlah mayoritas. Tetapi, identitas Melayu kini kerap dijadikan wajah tunggal kabupaten, mulai dari simbol resmi hingga kebijakan penggunaan seragam adat yang berlaku untuk semua.

Pertanyaannya, apakah ini bentuk pelestarian budaya atau justru penyeragaman simbol yang mengabaikan keberagaman etnis di Langkat?

Belajar dari Minang

Mari menengok Sumatra Barat. Orang Minangkabau memang mayoritas mutlak di sana. Mereka berhasil menjadikan adat Minang sebagai wajah provinsi - dari bahasa, pakaian, hingga sistem pemerintahan nagari. Namun, yang jarang dibicarakan adalah strategi inklusif mereka: pendatang tetap diberi ruang hidup, berdagang, dan berkontribusi, meski aturan adat tetap dijunjung.

Artinya, kekuatan budaya Minang dibangun di atas legitimasi mayoritas dan dukungan konsensus sosial. Itulah mengapa simbol budaya mereka diterima luas, bahkan oleh pendatang.

Realitas Langkat yang Berbeda

Di Langkat, kenyataannya berbanding terbalik. Mayoritas penduduk adalah suku Jawa (sekitar 50–56%), disusul Batak dalam berbagai sub-etnis. Dalam konteks ini, menjadikan simbol Melayu sebagai identitas tunggal tanpa konsultasi publik yang memadai justru berpotensi menimbulkan jarak sosial dan resistensi diam-diam dari mayoritas.

Pepatah "di mana bumi dipijak" mestinya juga berlaku bagi orang Melayu Langkat. Menghormati “langit” Langkat hari ini berarti mengakui bahwa bumi ini ditapaki bersama oleh banyak suku, bukan satu etnis saja.

Politik Simbol atau Pelestarian Budaya?

Kebijakan publik seharusnya berlandaskan data, bukan sekadar romantisme sejarah. Pelestarian budaya Melayu tetap penting, tetapi langkahnya harus disertai keterbukaan pada pluralitas. Jika tidak, pelestarian akan berubah menjadi dominasi simbolik yang justru melemahkan semangat kebersamaan.

Menjunjung Langit Bersama

Orang Minang mengerti bahwa kekuatan adat datang dari penerimaan kolektif. Melayu Langkat pun bisa mengambil pelajaran yang sama: kejayaan budaya tidak lahir dari pemaksaan, tetapi dari rasa bangga yang dibangun bersama semua warga.

Langkat hari ini adalah rumah banyak etnis. Dan di rumah bersama, langit yang dijunjung seharusnya adalah langit milik semua.

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar