UPDATE
The Vajra

Wajah Langkat yang Tak Sepenuhnya Melayu

Tepung tawar budaya melayu, foto: islami.co

Oleh: Al Faqih

STABAT (Langkatoday) - Pemerintah Kabupaten Langkat dalam beberapa tahun terakhir kerap menggaungkan identitas budaya Melayu sebagai ciri khas daerah.

Salah satu kebijakan simboliknya adalah penggunaan seragam Melayu pada momen-momen tertentu bagi aparatur sipil negara (ASN) dan bahkan siswa sekolah.

Namun, data resmi menunjukkan bahwa jumlah masyarakat suku Melayu di Langkat hanya sekitar 147.785 jiwa atau 15,04% dari total populasi ±1,2 juta jiwa. Artinya, mayoritas penduduk Langkat justru berasal dari suku lain seperti Jawa, Karo, Batak, Mandailing, dan etnis lainnya.

Di titik inilah muncul pertanyaan mendasar: layakkah penggunaan seragam Melayu menjadi identitas resmi daerah jika faktanya suku Melayu bukan kelompok mayoritas?

Identitas Daerah vs Representasi Populasi

Melayu memang merupakan suku asli dan bagian dari sejarah pembentukan Langkat, dengan warisan adat, bahasa, dan kesultanan yang patut dilestarikan. Mengangkat budaya Melayu sebagai simbol daerah dapat menjadi langkah positif untuk melestarikan sejarah.

Namun, ketika simbol ini diwajibkan secara massal, termasuk bagi mereka yang tidak memiliki akar budaya Melayu, risiko yang muncul adalah perasaan "dihegemoni" oleh identitas etnis tertentu. Simbol budaya seharusnya bersifat inklusif, bukan eksklusif.

Potensi Reduksi Pluralisme

Langkat adalah miniatur Indonesia: beragam suku, agama, dan budaya hidup berdampingan. Mengedepankan satu identitas budaya tanpa menyeimbangkan representasi budaya lain dapat memunculkan kesan bahwa pemerintah mengutamakan satu kelompok saja. Pada konteks sosial, ini berpotensi menimbulkan jarak psikologis antarwarga.

Bayangkan, jika daerah dengan mayoritas Jawa memaksakan seragam beskap atau kebaya setiap minggu bagi seluruh warganya, tanpa ruang bagi ekspresi budaya lain. Nilai pluralisme akan terkikis.

Alternatif yang Lebih Inklusif

Identitas Melayu layak dijaga, tetapi penerapannya bisa lebih bijak:

  1. Hari Budaya Multietnis - Mengatur rotasi penggunaan pakaian adat berbagai suku yang ada di Langkat, bukan hanya Melayu.
  2. Penguatan Festival Budaya - Menjadikan budaya Melayu sebagai salah satu pilar, bukan satu-satunya wajah resmi.
  3. Pendekatan Sukarela - Menggunakan seragam Melayu sebagai opsi kebanggaan, bukan kewajiban yang seragam bagi semua.
Melestarikan budaya Melayu adalah hal mulia, tetapi kebijakan publik harus mempertimbangkan realitas demografis dan prinsip keadilan budaya.

Di kabupaten yang multietnis seperti Langkat, identitas daerah sebaiknya mencerminkan keberagaman warganya, bukan hanya warisan satu suku.

Jika hanya 15% penduduk adalah Melayu, penggunaan seragam Melayu secara wajib patut dipertanyakan: apakah ini pelestarian budaya atau dominasi simbolik?

Dalam masyarakat majemuk, keindahan justru hadir ketika semua identitas diberi ruang yang sama untuk bersinar.

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar